Minggu, 29 November 2015

Rumah Multatui



Kata “Multatuli” mungkin masih terdengar asing ditelinga masyarakat, namun untuk masyarakat Kota Rangkasbitung Kabupaten Lebak nama itu sudah tidak asing lagi karena nama itu dijadikan sebagai salah satu nama jalan. Sebenarnya siapa sih, Mulatatuli itu? Seberapa penting nama Multatuli itu sehingga namanya dijadikan nama jalan di Kabupaten Lebak?
Multatuli merupakan nama samaran atau nama pena (dari bahasa Latin Multa tuli, "Saya telah melakukan banyak"), dari Eduard Douwes Dekker.        

                       
Gambar Multatuli
                        Eduard Douwes Dekker lahir di AmsterdamBelanda2 Maret 1820 lalu  meninggal di Ingelheim am RheinJerman19 Februari 1887 pada umur 66 tahun.
                        Pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1840 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri(ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tahun 1842 ia meminta untuk di pindahkan ke Sumatera Barat. Di tahun yang sama pula ia di pindahkan ke Natal, Sumatera Utara untuk bertugas sebagai kontrolir. Lalu menjadi Asisten Residen di Ambon (1851).
                        Pada tanggal 21 Januari 1856 pemerintah kolonial Belanda menugaskan Eduard Douwes Dekker untuk menjadi Asisten Residen di Afdeling Lebak untuk menggantikan C.E.P Carolus, yang menjadi Asisten Residen sebelumnya.Selama Dekker menjabat sebagai Asisten Residen Lebak, Dekker melihat kesewenang-wenangan yang di lakukan oleh R.T.A. Karta Nata Negara dan Raden Wira Kusuma, yang menjadi Demang Parungkujang.
            Pada tanggal 24 Februari 1856, Douwes Dekker melaporkan tindakan – tindakan yang dilakukan oleh Bupati Lebak kepada Residen Banten C.P. Brest van Kempen, Dekker menuduh bupati telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan pemerasan kepada rakyat Lebak. Tetapi gubernur jenderal dan Raad van Indie menilai tindakan yang diambil oleh Douwes Dekker tidak dapat dibenarkan dan ia akan segera dipindahkan. Karena kecewa atas keputusan atasannya itu, Dekker mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 4 April 1856.                                  Dekker meninggalkan rumah yang ditempatinya selama menjadi Asisten Residen Lebak, yang kemudian pindah ke Eropa. Selama itu, Dekker menulis buku Max Havelaar  yang diterbitkan pada tahun 1859 di Brussel, Belgia. Max Havelaar bercerita mengenai kekejaman yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda karena adanya sistem tanam paksa yang menyebabkan penderitaan baik secara lahiriah maupun batiniah bagi rakyat pribumi pada masa itu.Setelah buku Max Havelaar terbit Belanda mendapat kecaman dari masyarakat Eropa atas tindakan yang dilakukan oleh Belanda terhadap tanah jajahan Hindia Belanda, hingga akhirnya tanam paksa dihapuskan.
                        Residentie Assisten Recidente Van Lebak ( Rumah Dinas Multatuli ) berdiri pada tahun 1902 terletak di Jl. Iko Jatmiko Rangkasbitung. Namun, kebenaran tentang tahun berdirinya rumah Multatuli ini masih perlu dikaji lebih lanjut lagi karena hal ini tidak sesuai dengan kedatangan Multatui di Lebak pada tahun1856 sehingga dapat dikatakan bahwa rumah Multatuli dibangun sekitar abad ke 19.
                        Multatuli atau Eduard Douwes Dekker menempati rumah tersebut hanya sekitar 3-4 bulan saja karena Multatuli mengundurkan diri dari jabatannya dan meninggalkan rumah yang ditempatinya saat menjadi Asisten Residen Lebak, kemudian pindah ke Eropa.Selama itu, Multatuli menulis buku Max Havelaar yang diterbitkan pada tahun 1859 di Brussel, Belgia.
                        Sekitar tahun 1960 Rumah Multatuli dijadikan sebagai Museum (tempat peninggalan benda-benda bersejarah), sekitar tahun 1986 dijadikan sebagai Perumahan Kodim, kemudian dijadikan Kantor Departemen Kesehatan pada masa jabatan Bapak Bupati Oman Sachroni. Rumah Multatuli juga pernah di jadikan Perumahan Kodim dan Kantor Dinas Kesehatan atau PUSKESMAS.
                        Banyak masyarakat di Kota Rangkasbitung yang kurang mengetahui letak rumah Multatuli,padahal rumah Multatuli terletak di Jl Iko Jatmiko Rangkasbitung (sekitar lokal area Rumah Sakit Umum Adjidarmo yang baru dan yang lama), lalu pada tahun 2012 Dinas Pendidikandan Kebudayaan Pendidikan Provinsi Banten mengesahkan Rumah Multatuli sebagai Benda Cagar Budaya, lalu pemerintah daerah Lebak memasang plang di depan rumah Multatuli sebagai upaya mempublikasikan rumah Multatuli.

Seperti terlihat pada gambar :

Gambar Rumah Multatuli tampak samping kiri
                        Rumah itu berdiri di sekitar lokal area bangunan baru Rumah Sakit Umum Dr. Adjidarmo, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.  Lantai berdebu, kaca nako merosot dan terlepas dari jepit penyangganya, meja dan kursi yang tergeletak tak beraturan menambah kusam penampilan rumah, lalu di ruangan depan terdapat setumpuk kardus bekas obat-obatan Rumah Sakit, di bagian samping kiri terlihat debu dimana-mana dan di selasar rumah Multatuli dijadikan sebagai tempat beristirahat oleh para kerabat pasien Rumah Sakit Umum Dr.Adjidarmo, Rumah itu pun lebih menyerupai kantor yang lama tak digunakan ketimbang bekas kediaman Asisten Residen yang namanya terkenal ke seantero jagat: Eduard Douwes Dekker alias Multatuli.
“Kemungkinan besar bangunan asli sudah tak ada lagi,” kata Bambang Eryudhawan, arsitek dari Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia.Kecuali sebidang tembok tua selebar kira-kira enam meter setinggi lima meter yang masih berdiri tegak ditambah batu bata merah berukuran 30 x 8 cm menyembul pada pelur geligir atas yang rompal, tak lagi tanda-tanda guratan kisah masa lalu pada rumah itu.Genteng, tegel, kaca, daun pintu dan jendela di perkirakan berusia setengah abad dan di buat bukan pada zaman Bupati Raden Adipati Karta Nata Nagara berkuasa.
                        Pemerintah Daerah Lebak telah mengizinkan rencana rekonstruksi ulang rumah Multatuli. Mantan Wakil Bupati Lebak Amir Hamzah mengatakan pemerintah Lebak menyambut baik upaya pihak Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia dan pemerintah Belanda yang berencana merekonstruksi rumah Multatuli.
                        Diskusi pembangunan ulang rumah Multatuli di Lebak memang telah lama berlangsung dan melibatkan beberapa pihak, termasuk Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Pada tahun 2006 Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Maria J.A van der Hoeven yang mengunjungi situs rumah Mutatuli di Rangkasbitung berjanji akan mendukung pendanaan pembangunan memorial di atas rumah tersebut.
                        Sementara itu Kepala Bagian Persdan Kebudayaan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta Paul Peters mengatakan pemerintah Belanda mendukung upaya pembangunan setelah ada hasil riset dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Banten di Serang.Hasil riset itu untuk menguatkan fakta sejarah bahwa di situs itu pernah berdiri rumah yang pernah ditempati oleh Douwes Dekker alias Multatuli.“Pemerintah Belanda akan mendukung usaha pembangunan memorial Multatuli di Rangkasbitung. Tapi setelah BP3 mengeluarkan hasil risetnya.dan kami sedang menunggu itu, ” kata Paul Peters.
                        Namun sampai saat ini hal tersebut masih belum terealisasi akibat banyaknya kendala yang dihadapi. Misalnya masalah dana yang tak pernah terdengar kabarnya, dan juga masalah material bangunan yang digunakan untuk membangun rumah Multatuli itu berbeda dengan material bangunan yang ada pada saat ini. Karena untuk membangun kembali Benda Cagar Budaya itu harus memakai material yang sama dengan material yang digunakan pada saat pembangunan pertamanya.
                        Terlepas dari siapa Mutatuli itu, dan bagaimana polemik-polemik yang dialami oleh Mulatatuli hal itu semua merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang harus kita ketahui dan tidak boleh untuk dilupakn. Dan hal terpenting yang harus kita lakukan adalah merawat dan melestarikan rumah Multatuli tersebut karena bagaimanapun juga rumah tersebut merupakan benda cagar budaya yang dimiliki oleh bangsa ini. “Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar