Kata
“Multatuli” mungkin masih terdengar asing ditelinga masyarakat, namun untuk
masyarakat Kota Rangkasbitung Kabupaten Lebak nama itu sudah tidak asing lagi
karena nama itu dijadikan sebagai salah satu nama jalan. Sebenarnya siapa sih,
Mulatatuli itu? Seberapa penting nama Multatuli itu sehingga namanya dijadikan
nama jalan di Kabupaten Lebak?
Multatuli merupakan nama samaran atau
nama pena (dari bahasa Latin Multa tuli, "Saya telah melakukan
banyak"), dari Eduard Douwes Dekker.
Gambar
Multatuli
Eduard Douwes Dekker lahir
di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820
lalu meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada
umur 66 tahun.
Pada
tahun 1838 Eduard
pergi ke pulau Jawa dan
pada 1840 tiba
di Batavia
sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan
bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan
sebagai pegawai negeri(ambtenaar) di kantor
Pengawasan Keuangan Batavia. Tahun 1842 ia meminta untuk di pindahkan ke
Sumatera Barat. Di tahun yang sama pula ia di pindahkan ke Natal, Sumatera
Utara untuk bertugas sebagai kontrolir. Lalu menjadi Asisten Residen di Ambon
(1851).
Pada
tanggal 21 Januari 1856 pemerintah kolonial Belanda menugaskan Eduard Douwes
Dekker untuk menjadi Asisten Residen di Afdeling Lebak untuk menggantikan C.E.P
Carolus, yang menjadi Asisten Residen sebelumnya.Selama Dekker menjabat sebagai
Asisten Residen Lebak, Dekker melihat kesewenang-wenangan yang di lakukan oleh
R.T.A. Karta Nata Negara dan Raden Wira Kusuma, yang menjadi Demang
Parungkujang.
Pada
tanggal 24 Februari 1856, Douwes Dekker melaporkan tindakan – tindakan yang
dilakukan oleh Bupati Lebak kepada Residen Banten C.P. Brest van Kempen, Dekker menuduh bupati
telah menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan pemerasan kepada rakyat
Lebak. Tetapi gubernur jenderal dan Raad
van Indie menilai tindakan yang diambil oleh
Douwes Dekker tidak dapat dibenarkan dan ia akan segera
dipindahkan. Karena kecewa atas keputusan atasannya itu, Dekker mengundurkan
diri dari jabatannya pada tanggal 4 April 1856. Dekker
meninggalkan rumah yang ditempatinya selama menjadi Asisten Residen Lebak, yang
kemudian pindah ke Eropa. Selama itu, Dekker menulis buku Max Havelaar yang diterbitkan pada tahun 1859 di Brussel,
Belgia. Max Havelaar bercerita mengenai kekejaman yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda karena adanya sistem
tanam paksa yang menyebabkan penderitaan baik secara lahiriah maupun batiniah
bagi rakyat pribumi pada masa itu.Setelah buku Max Havelaar terbit Belanda
mendapat kecaman dari masyarakat Eropa atas tindakan yang dilakukan oleh
Belanda terhadap tanah jajahan Hindia Belanda, hingga akhirnya tanam paksa
dihapuskan.
Residentie Assisten Recidente Van Lebak ( Rumah Dinas
Multatuli ) berdiri pada tahun 1902 terletak di Jl. Iko Jatmiko Rangkasbitung.
Namun, kebenaran tentang tahun berdirinya rumah Multatuli ini masih perlu
dikaji lebih lanjut lagi karena hal ini tidak sesuai dengan kedatangan Multatui
di Lebak pada tahun1856 sehingga dapat dikatakan bahwa rumah Multatuli dibangun
sekitar abad ke 19.
Multatuli
atau Eduard Douwes Dekker menempati rumah tersebut hanya sekitar 3-4 bulan saja
karena Multatuli mengundurkan diri dari jabatannya dan meninggalkan rumah yang
ditempatinya saat menjadi Asisten Residen Lebak, kemudian pindah ke
Eropa.Selama itu, Multatuli menulis buku Max Havelaar yang diterbitkan pada
tahun 1859 di Brussel, Belgia.
Sekitar
tahun 1960 Rumah Multatuli dijadikan sebagai Museum (tempat peninggalan
benda-benda bersejarah), sekitar tahun 1986 dijadikan sebagai Perumahan Kodim,
kemudian dijadikan Kantor Departemen Kesehatan pada masa jabatan Bapak Bupati Oman Sachroni.
Rumah Multatuli juga pernah di jadikan Perumahan Kodim dan Kantor Dinas
Kesehatan atau PUSKESMAS.
Banyak
masyarakat di Kota Rangkasbitung yang kurang mengetahui letak rumah
Multatuli,padahal rumah Multatuli terletak di Jl Iko Jatmiko Rangkasbitung
(sekitar lokal area Rumah Sakit Umum Adjidarmo yang baru dan yang lama), lalu
pada tahun 2012 Dinas Pendidikandan Kebudayaan Pendidikan Provinsi Banten
mengesahkan Rumah Multatuli sebagai Benda Cagar Budaya, lalu pemerintah daerah Lebak
memasang plang di depan rumah Multatuli sebagai upaya mempublikasikan rumah
Multatuli.
Seperti
terlihat pada gambar :
Gambar
Rumah Multatuli tampak samping kiri
Rumah itu berdiri di sekitar
lokal area bangunan baru Rumah Sakit Umum Dr. Adjidarmo, Rangkasbitung,
Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Lantai berdebu, kaca nako merosot dan terlepas dari jepit penyangganya, meja dan kursi yang tergeletak tak
beraturan menambah kusam penampilan rumah, lalu di ruangan depan terdapat
setumpuk kardus bekas obat-obatan Rumah Sakit, di bagian samping kiri terlihat
debu dimana-mana dan di selasar rumah Multatuli
dijadikan sebagai tempat beristirahat oleh para kerabat pasien Rumah Sakit Umum
Dr.Adjidarmo, Rumah itu pun lebih menyerupai kantor yang lama tak digunakan
ketimbang bekas kediaman Asisten Residen yang namanya terkenal ke seantero
jagat: Eduard Douwes Dekker alias Multatuli.
“Kemungkinan besar
bangunan asli sudah tak ada lagi,” kata Bambang Eryudhawan, arsitek dari Pusat
Dokumentasi Arsitektur Indonesia.Kecuali sebidang tembok tua selebar kira-kira
enam meter setinggi lima meter yang masih berdiri tegak ditambah batu bata
merah berukuran 30 x 8 cm menyembul pada pelur geligir atas yang rompal, tak
lagi tanda-tanda guratan kisah masa lalu pada rumah itu.Genteng, tegel, kaca,
daun pintu dan jendela di perkirakan berusia setengah abad dan di buat bukan pada zaman Bupati Raden Adipati Karta
Nata Nagara berkuasa.
Pemerintah Daerah Lebak telah mengizinkan rencana
rekonstruksi ulang rumah Multatuli. Mantan Wakil Bupati Lebak Amir
Hamzah mengatakan pemerintah Lebak menyambut baik upaya pihak Pusat Dokumentasi
Arsitektur Indonesia dan pemerintah Belanda yang
berencana merekonstruksi rumah Multatuli.
Diskusi pembangunan ulang rumah Multatuli di
Lebak memang telah lama berlangsung dan
melibatkan beberapa pihak, termasuk Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Pada tahun 2006 Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Maria J.A van der Hoeven yang mengunjungi situs rumah Mutatuli di
Rangkasbitung berjanji akan mendukung pendanaan pembangunan memorial di atas
rumah tersebut.
Sementara itu Kepala Bagian Persdan Kebudayaan Kedutaan
Besar Kerajaan Belanda di Jakarta Paul Peters mengatakan pemerintah Belanda
mendukung upaya pembangunan setelah ada hasil riset dari Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Banten di Serang.Hasil riset itu untuk
menguatkan fakta sejarah bahwa di situs itu pernah berdiri rumah yang pernah
ditempati oleh Douwes Dekker alias Multatuli.“Pemerintah Belanda akan mendukung
usaha pembangunan memorial Multatuli di Rangkasbitung. Tapi setelah BP3
mengeluarkan hasil risetnya.dan kami sedang menunggu itu, ” kata Paul Peters.
Namun sampai saat ini
hal tersebut masih belum terealisasi akibat banyaknya kendala yang dihadapi.
Misalnya masalah dana yang tak pernah terdengar kabarnya, dan juga masalah
material bangunan yang digunakan untuk membangun rumah Multatuli itu berbeda
dengan material bangunan yang ada pada saat ini. Karena untuk membangun kembali
Benda Cagar Budaya itu harus memakai material yang sama dengan material yang
digunakan pada saat pembangunan pertamanya.
Terlepas dari siapa
Mutatuli itu, dan bagaimana polemik-polemik yang dialami oleh Mulatatuli hal
itu semua merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang harus kita
ketahui dan tidak boleh untuk dilupakn. Dan hal terpenting yang harus kita
lakukan adalah merawat dan melestarikan rumah Multatuli tersebut karena
bagaimanapun juga rumah tersebut merupakan benda cagar budaya yang dimiliki
oleh bangsa ini. “Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
sejarahnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar