Selasa, 15 Desember 2015

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

BAB I
                                                              PENDAHULUAN                                             
1.    Latar Belakang
     Pancasila sebagai suatu system filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari penjabaran dari norma yang ada baik norma hukum,norma moral maupaun norma lainnya.Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya sustu pemikiran yang bersifat kritis, mendasar dan rasional, sistematis dan konperensif (menyeluruh) dan system pemikiran ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yang mendasar.
       Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkat laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang kedua adalah norma hukum yaitu suatu system perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupaka suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk Negara dan berasal dan bangsa Indonesia sendiri sebagai sebagai asal mula (kausa materialis)
         Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum  baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.

2.    Rumusan Masalah
2.1  Apa pengertian nilai, norma, dan moral?
2.2  Bagaimana hubungan antara nilai, norma dan moral?
2.3  Bagaimana nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik?
3.    Tujuan Makalah
3.1  Untuk mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik.
3.2  Dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika















BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Etika
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus menganbil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia (Suseno,1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan pelbagai masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etikamembicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebijakan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa oran yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susuila. Dapat dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosifis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
2.    Pengertian Nilai, Norma dan Moral

2.1  Pengertian Nilai
Nilai atau “value” (dalam bahasa Inggris) termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu Filsafat Nilai (Axiology, Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan m enarik minat seseorang atau kelompok (The belived capacity of any object to statsfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan –kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menurut Dr.H.Syahrial Syarbaini, M.A(2011) nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem social dan karya. Nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebuayaan, atau sebagai sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai social, nilai politik, dan nilai religi.
Di samping teori nilai di atas, Prof. Notonegoro membagi nilai dalam tiga kategori, yaitu:
a.    Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.
b.    Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan aktivitas.
c.    Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian dapat dirinci menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut.
1.    Nilai kebenaran, yaitu bersumber kepada unsur rasio manusia, budi, dan cipta.
2.    Nilai keindahan, yaitu bersumber kepada unsur rasa atau intuisi.
3.    Nilai moral, yaitu bersumber kepada unsur kehendak manusia atau kemauan (karsa,etika).
4.    Nilai religi, bersumber kepada nilai ketuhanan, merupakan nilai kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia terhadap
.
2.2  Hierarkhi Nilai
Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan tentang pengertian serta hierarkhi nilai. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah niali kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang anda serta bagaimana hubungn nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk menggolong-golongkan nilai tersebut dan penggolongan amat beraneka ragam, tergantung pandang dalam rangka peggolongan tersebut.
Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dengan nilai-nilai lainnya. Menurut tingkat rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam 4 tingkat sebagai berikut:
1.    Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapatlah deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen Unangehmen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2.    Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnyya kesehatan, kesegaran jasmani, kesejahteraan umum.
3.    Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak tergantung dari tergantung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai smeacam ini ialah keindahan, kebenaran,dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.
4.    Nilai-nilai kerohanian: dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan tak suci (wermodalitat des He iligen ung Unheiligen), Nilai-nilai semacam ini terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.

2.3  Norma
Manusia cenderung untuk memelihara hubungan dengan Tuhan, masyarakat dan alam sekitarnya dengan selaras. Hubungan manusia terjalin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan hubungan vertikal-horizontal (alam, lingkungan alam) secara seimbang serasi, dan selaras. Oleh karena itu, manusia juga memerlukan pengendalian diri, baik terhadap manusia sesamanya, lingkungan alam,dan Tuhan. Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu.
Norma sesungguhnya merupakan perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral, dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a.    Norama agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b.    Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri
c.    Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat
d.    Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat negara.

2.4  Moral
Moral berasal dari kata mos (mores)= kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap tidak moral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun  dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma, dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
2.5 Hubungan Nilai, Norma, dan Moral
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nilai adalah kualitas dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
 Nilai berbeda dengan fakta dimana fakta dapat diobservasikan melalui suatu vertifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang dapat dipahami, dipikirkan,dimengerti dan dihayati oleh manusia.Nilai berkaitan juga dengan harapan, cita-cita,keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah). Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indera manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat keoribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat sekali dan kadangkala kedua hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika adalah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo, 1996).
Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral sebagai buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma dan moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.  
3.    Bidang Etika Politik
3.1  Pengertian Politik
Pengertian ‘Politik’ berasal dari kata ‘Politics’, yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. ‘Pengambilan keputusan’ atau ‘decisionmaking’ mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusun skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Istilah Politik berasal dari bahasa Yunani Polis yang artinya Negara (city state) yang terdiri atas adanya rakyat, wilayah dan pemerintahan yang berdaulat. Menurut Aristoteles (Filsuf Yunani) manusia adalah Zoon Politicon,yakni makhluk politik, yaitu hidup dalam suatu wilayah tertentu bersama-sama yang lain dengan saling membantu di bawah suatu pemerintahan yang disetujui bersama.
Dalam bahasa Indonesia, kata politik mengandung arti suatu keadaan yang dikehendaki, disertai cara dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Pada umumnya dapat dikemukakan bahwa politik adalah berbagai kegiatan dalam suatu Negara yang berkaitan dengan proses menentukan tujuan dan upaya-upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut, pengambilan keputusan mengenai seleksi dari beberapa alternative dan penyusun skala prioritasnya. Untuk melaksanakan tujuan perlu ditentukan kebijaksanaan yang menyangkut pengaturan, pembagian dan alokasi dari sumber yang ada.
3.2  Pengertian Etika Politik
Secara substantive pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun Negara etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikkan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
3.3  Dimensi Politis Manusia

a.    Manusia sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Manusia memang merupakan makhluk yang bebas, namun untuk menjamin kebebasannya ia senantiasa memerlukan orang lain atau masyarakat. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak dilakukannya. Konsekuensinya ia harus mengambil sikap terhadap alam dan masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyasuaikan diri dengan harapan orang lain akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan mereka.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktifitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung kepada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk sosial
b.    Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Dalam kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai individu maupun makhluk social sulit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan diantara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Manusia mengerti dan memehami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulakan karena tindakannya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral dan tanggung jawabnya terhadap orang lain.
3.4  Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
     Sebagai dasar filsafat Negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila III).
       Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan
(1)  Asas legalitasi (legalitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku
(2)  Disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis)
(3)  Dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus ke dalam machtsstaats, atau negara kekuasaan.
 Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Apabila semua itu tidak sesuai maka akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara  korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokrasi) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral).
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokrasi juga harus berdasar pada berdasar pada legitimasi moral.










BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
1.1 Nilai adalah sebuah harga, angka yang diperoleh akibat dari sesuatu yang dikerjakan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Moral adalah kumpulan peraturan baik lisan atau tulisan tentang cara manusia bertindak dan berperilaku dengan baik. Norma yaitu aturan yang harus dipatuhi dimana mereka tinggal dan penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
1.2 Hubungan nilai, norma dan moral sangatlah erat dan apabila ketiganya memiliki hubungan yang sistematik pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan manusia.
1.3 Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokrasi) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral) sesuai dengan prinsip dalam pancasila.
2.    Saran
2.1 Pancasila harus selalu diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
2.2 Agar tercipta kehidupan beretika yang bercirikan nilai-nilai pancasila yang religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dankeadilan.
2.3 Termasuk dalam penyelenggaraan hak berpolitik seperti pemilu dan kehidupan sehari-hari, sehingga terwujud perilaku atau etika yang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA


Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.
Syarbaini, Syahrial. 2011. Pendidikan Pancasila. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Zaelani, Endand dkk. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar