BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Pancasila
sebagai suatu system filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari penjabaran dari norma yang ada baik norma hukum,norma moral maupaun
norma lainnya.Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya sustu pemikiran
yang bersifat kritis, mendasar dan rasional, sistematis dan konperensif
(menyeluruh) dan system pemikiran ini merupakan suatu nilai, Oleh karena itu
suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang
merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai
yang mendasar.
Nilai-nilai pancasila kemudian
dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma
tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkat laku manusia
yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang kedua adalah
norma hukum yaitu suatu system perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala
hukum di Indonesia, pancasila
juga merupaka suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk Negara dan berasal dan bangsa
Indonesia sendiri sebagai sebagai asal mula (kausa materialis)
Pancasila bukanlah merupakan pedoman
yang berlangsung bersifat normatif ataupun praktis melainkan merupakan suatu
sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum,
yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika,
moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
2.
Rumusan
Masalah
2.1 Apa
pengertian nilai, norma, dan moral?
2.2 Bagaimana
hubungan antara nilai, norma dan moral?
2.3 Bagaimana
nilai-nilai pancasila sebagai sumber etika politik?
3.
Tujuan
Makalah
3.1 Untuk
mengetahui pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai
etika politik.
3.2 Dapat
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Etika
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi
menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus menganbil
sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno,
1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap
tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam
hubungannya dengan pelbagai aspek kehidupan manusia (Suseno,1987). Etika khusus
dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri
sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap
manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari
etika khusus.
Etika berkaitan dengan pelbagai masalah nilai karena
etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat
nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus
etikamembicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau
bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebijakan yang dilawankan dengan
kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa oran yang memilikinya
dikatakan orang yang tidak susuila. Dapat dikatakan bahwa etika berkaitan
dengan dasar-dasar filosifis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
2.
Pengertian
Nilai, Norma dan Moral
2.1 Pengertian
Nilai
Nilai atau “value” (dalam bahasa Inggris) termasuk bidang
kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah
satu cabang filsafat yaitu Filsafat Nilai (Axiology,
Theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai. Di dalam Dictionary of
Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan
yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari
suatu benda yang menyebabkan m enarik minat seseorang atau kelompok (The belived capacity of any object to
statsfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau
kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu
mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu.
Nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik
kenyataan –kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya kenyataan-kenyataan
lain sebagai pembawa nilai (wartrager).
Menurut Dr.H.Syahrial Syarbaini, M.A(2011) nilai adalah
sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin, dan menyadarkan
manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi
mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu
sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem
social dan karya. Nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks
kebuayaan, atau sebagai sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Alport
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada
enam macam, yaitu nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai social,
nilai politik, dan nilai religi.
Di samping teori nilai di atas, Prof. Notonegoro membagi
nilai dalam tiga kategori, yaitu:
a. Nilai
material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia.
b. Nilai
vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan
aktivitas.
c. Nilai
kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai
kerohanian dapat dirinci menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut.
1. Nilai
kebenaran, yaitu bersumber kepada unsur rasio manusia, budi, dan cipta.
2. Nilai
keindahan, yaitu bersumber kepada unsur rasa atau intuisi.
3. Nilai
moral, yaitu bersumber kepada unsur kehendak manusia atau kemauan
(karsa,etika).
4. Nilai
religi, bersumber kepada nilai ketuhanan, merupakan nilai kerohanian yang
tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber kepada keyakinan dan keimanan manusia
terhadap
.
2.2 Hierarkhi
Nilai
Terdapat berbagai macam pandangan tentang nilai hal ini
sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam
menentukan tentang pengertian serta hierarkhi nilai. Misalnya kalangan
materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah niali kenikmatan. Pada
hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang anda serta
bagaimana hubungn nilai tersebut dengan manusia. Banyak usaha untuk
menggolong-golongkan nilai tersebut dan penggolongan amat beraneka ragam,
tergantung pandang dalam rangka peggolongan tersebut.
Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak
sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang
lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dengan nilai-nilai lainnya. Menurut
tingkat rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam 4 tingkat sebagai
berikut:
1. Nilai-nilai
kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapatlah deretan nilai-nilai yang
mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen Unangehmen),
yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.
2. Nilai-nilai
kehidupan: dalam tingkat ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi
kehidupan (Werte des vitalen Fuhlens) misalnyya kesehatan, kesegaran jasmani,
kesejahteraan umum.
3. Nilai-nilai
kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai kejiwaan (geistige werte) yang
sama sekali tidak tergantung dari tergantung dari keadaan jasmani maupun
lingkungan. Nilai-nilai smeacam ini ialah keindahan, kebenaran,dan pengetahuan
murni yang dicapai dalam filsafat.
4. Nilai-nilai
kerohanian: dalam tingkat ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci dan
tak suci (wermodalitat des He iligen ung Unheiligen), Nilai-nilai semacam ini
terutama terdiri dari nilai-nilai pribadi.
2.3 Norma
Manusia cenderung untuk memelihara hubungan dengan Tuhan,
masyarakat dan alam sekitarnya dengan selaras. Hubungan manusia terjalin secara
vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan hubungan vertikal-horizontal
(alam, lingkungan alam) secara seimbang serasi, dan selaras. Oleh karena itu,
manusia juga memerlukan pengendalian diri, baik terhadap manusia sesamanya,
lingkungan alam,dan Tuhan. Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap peraturan atau norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku
yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi
tertentu.
Norma sesungguhnya merupakan perwujudan martabat manusia sebagai makhluk
budaya, sosial, moral, dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap
luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma
dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan,
norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi,
yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a. Norama agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri
sendiri
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan
masyarakat
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau
denda yang dipaksakan oleh alat negara.
2.4 Moral
Moral berasal dari kata mos (mores)= kesusilaan, tabiat,
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada
aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya,
dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi,
maka pribadi itu dianggap tidak moral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa
peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat
berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan
masyarakat, negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau
agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya.
Nilai, norma, dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam
berbagai aspeknya.
2.5 Hubungan Nilai,
Norma, dan Moral
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa nilai adalah kualitas
dari suatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam
kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
Nilai berbeda
dengan fakta dimana fakta dapat diobservasikan melalui suatu vertifikasi
empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang dapat dipahami,
dipikirkan,dimengerti dan dihayati oleh manusia.Nilai berkaitan juga dengan
harapan, cita-cita,keinginan dan segala sesuatu pertimbangan internal
(batiniah). Nilai dengan demikian tidak
bersifat kongkrit yaitu tidak dapat ditangkap dengan indera manusia, dan nilai
dapat bersifat subjektif maupun objektif. Agar nilai tersebut menjadi lebih
berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih
dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit.
Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu
norma.
Selanjutnya nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan
moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat keoribadian seseorang amat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam
kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam
pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan
tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dengan etika memang sangat erat
sekali dan kadangkala kedua
hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut
memiliki perbedaan. Moral merupakan suatu
ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan,
baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika adalah suatu cabang filsafat
yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral tersebut (Krammer, 1988 dalam Darmodihardjo, 1996).
Hal ini dapat dianalogikan bahwa ajaran moral sebagai
buku petunjuk tentang bagaimana kita memperlakukan sebuah mobil dengan baik
sedangkan etika memberikan pengertian pada kita tentang struktur dan teknologi
mobil itu sendiri. Demikianlah hubungan yang sistematik antara nilai, norma dan
moral yang pada gilirannya ketiga aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah
laku praksis dalam kehidupan manusia.
3.
Bidang
Etika Politik
3.1 Pengertian
Politik
Pengertian ‘Politik’ berasal dari kata ‘Politics’, yang memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’, yang
menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan
pelaksanaan tujuan-tujuan itu. ‘Pengambilan keputusan’ atau ‘decisionmaking’ mengenai apakah yang
menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa
alternative dan penyusun skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih
itu.
Istilah Politik berasal dari bahasa Yunani Polis yang
artinya Negara (city state) yang
terdiri atas adanya rakyat, wilayah dan pemerintahan yang berdaulat. Menurut Aristoteles
(Filsuf Yunani) manusia adalah Zoon
Politicon,yakni makhluk politik, yaitu hidup dalam suatu wilayah tertentu
bersama-sama yang lain dengan saling membantu di bawah suatu pemerintahan yang
disetujui bersama.
Dalam bahasa Indonesia, kata politik mengandung arti
suatu keadaan yang dikehendaki, disertai cara dan alat yang digunakan untuk
mencapainya. Pada umumnya dapat dikemukakan bahwa politik adalah berbagai
kegiatan dalam suatu Negara yang berkaitan dengan proses menentukan tujuan dan
upaya-upaya dalam mewujudkan tujuan tersebut, pengambilan keputusan mengenai
seleksi dari beberapa alternative dan penyusun skala prioritasnya. Untuk
melaksanakan tujuan perlu ditentukan kebijaksanaan yang menyangkut pengaturan,
pembagian dan alokasi dari sumber yang ada.
3.2 Pengertian
Etika Politik
Secara substantive pengertian etika politik tidak dapat
dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu
etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan
kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai
subjek etika. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun Negara
etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar
ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikkan senantiasa didasarkan
kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya.
3.3 Dimensi
Politis Manusia
a. Manusia
sebagai Makhluk Individu-Sosial
Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia
tidak mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu
anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja.
Manusia memang merupakan makhluk yang bebas, namun untuk menjamin kebebasannya
ia senantiasa memerlukan orang lain atau masyarakat. Dalam kapasitas moral
kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang
tidak dilakukannya. Konsekuensinya ia harus mengambil sikap terhadap alam dan
masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyasuaikan diri dengan harapan orang lain
akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan mereka.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai
individu dan segala aktifitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa
tergantung kepada orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai warga
masyarakat atau sebagai makhluk sosial
b. Dimensi
Politis Kehidupan Manusia
Dalam kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas
kebebasan manusia baik sebagai individu maupun makhluk social sulit untuk dapat
dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan diantara mereka
sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi
fundamental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak, sehingga dua segi
fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Manusia
mengerti dan memehami akan suatu kejadian atau akibat yang ditimbulakan karena
tindakannya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral dan
tanggung jawabnya terhadap orang lain.
3.4 Nilai-nilai
Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
Sebagai dasar filsafat Negara pancasila
tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan
juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi
kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
Negara. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan. Bangsa Indonesia
sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu
wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi
kesejahteraan bersama (sila III).
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai
dengan
(1) Asas
legalitasi (legalitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku
(2) Disahkan
dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis)
(3) Dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan (legitimasi
moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga
dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut
kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan
harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan
(sila II). Negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar
tidak terjerumus ke dalam machtsstaats, atau negara kekuasaan.
Negara Indonesia
adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan
sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan tujuan dalam
kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,
segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus
berdasarkan atas hukum yang berlaku. Apabila semua itu tidak sesuai maka akan
menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala
kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV).
Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena
itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan,
kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung
pokok negara.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi
praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan
serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut
politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global,
yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi
hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokrasi) dan juga harus
berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral).
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap
individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan
negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para
pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum,
harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokrasi juga
harus berdasar pada berdasar pada legitimasi moral.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
1.1 Nilai
adalah sebuah harga, angka yang diperoleh akibat dari sesuatu yang dikerjakan
dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Moral adalah kumpulan
peraturan baik lisan atau tulisan tentang cara manusia bertindak dan
berperilaku dengan baik. Norma
yaitu aturan yang harus dipatuhi dimana mereka tinggal dan penuntun sikap dan
tingkah laku manusia.
1.2 Hubungan nilai, norma dan moral sangatlah erat dan
apabila ketiganya memiliki hubungan yang sistematik pada gilirannya ketiga
aspek tersebut terwujud dalam suatu tingkah laku praksis dalam kehidupan
manusia.
1.3 Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam
pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri,
ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain
berdasarkan hukum yang berlaku (legitimasi hukum), harus mendapat legitimasi
rakyat (legitimasi demokrasi) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip
moralitas (legitimasi moral) sesuai dengan prinsip dalam pancasila.
2.
Saran
2.1 Pancasila
harus selalu diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia
2.2 Agar
tercipta kehidupan beretika yang bercirikan nilai-nilai pancasila yang
religius, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dankeadilan.
2.3 Termasuk
dalam penyelenggaraan hak berpolitik seperti pemilu dan kehidupan sehari-hari,
sehingga terwujud perilaku atau etika yang sesuai dengan karakter Bangsa
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma.
Syarbaini, Syahrial.
2011. Pendidikan
Pancasila. Jakarta :
Ghalia Indonesia.
Zaelani, Endand dkk.
2002. Pendidikan
Kewarganegaraan. Yogyakarta:
Paradigma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar