A.
Sunnatullah
Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan
ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa akademis
disebut hukum
alam. Sunnah atau ketetapan Allah antara lain:
·
Selalu ada dua kondisi
saling ekstrem (surga-neraka, benar-salah, baik-buruk)
·
Segala sesuatu diciptakan
berpasangan (dua entitas atau lebih). Saling cocok maupun saling bertolakan.
·
Selalu terjadi pergantian
dan perubahan antara dua kondisi yang saling berbeda.
·
Perubahan, penciptaan maupun
penghancuran selalu melewati proses.
·
Alam diciptakan dengan
keteraturan.
·
Alam diciptakan dalam
keadaan seimbang.
·
Alam
diciptakan terus berkembang.
·
Setiap
terjadi kerusakan di alam manusia, Allah mengutus seorang utusan untuk memberi
peringatan atau memperbaiki kerusakan tersebut.
Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah dan Allah. Sunnah artinya
adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan
Allah. Kata sunnatullah dan yang sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu
al-awwalin terulang sebanyak tiga belas kali dalam al-Qur'an. Jika
dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut berbicara dalam konteks
kemasyarakatan.
Sunnatullah atau disebut juga dengan hukum alam, hukum kemasyarakat-an,
atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi kemasyarakatan, tidak dapat
dialihkan dan diubah oleh siapapun. Sunnatullah ini sudah berlaku pada
umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW dan berlaku secara umum serta
terus-menerus terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur'an yang berbunyi
... فهل
ينظرون إلا سنت الله الأولين فلن تجد لسنة الله تبديلا ولن تجد لسنة الله تحويلا.
Artinya: …tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu.
Artinya: …tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu.
Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunah Allah,
sekali-kali kamu tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.
سنة الله التي قد خلت من قبل ولن تجد لسنة الله تبديلا
Artinya: sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu
sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
Sebenarnya masih banyak lagi ayat al-Qur'an yang membahas masalah ini.
Dan semua ayat tersebut berbicara dalam konteks kemasyaratan.
Al-Qur'an merupakan kitab pertama kali yang membicarakan tentang hukum
alam (sunnatullah). Uraian al-Qur'an tentang hukum kemasyarakatan, hukum alam
atau sunnatullah wajar, karena al-Qur'an merupakan kitab suci dan transenden
yang berfungsi mengeluarkan manusia dari gelap-gulita (al-dhulumat) menuju
terang benderang (al-nur).
Sunnatullah
dalam Al-Qur’an, menurut Muhammad Fuad Abdul Baqi terungkap delapan kali dalam
empat surat. Sunnatullah menurut Ahmad Kan’an adalah hukum-hukum yang terdapat
di dalam ciptaan-Nya. Begitu juga, Hamka memberikan suatu ilustrasi bahwa sama
keadaan sunnatullah itu dengan air hilir, pasti meneruti aturan yang ditetapkan
Allah, yaitu menurun kepada yang lebih rendah sampai kelaut. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya bagi manusia sebagai khalifatullah yang bertugas memakmurkan
bumi untuk memehami sunatullah(ketentuan dan ketetapan hukum Allah) yang ada di
alam semesta ini, baik benda mati, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun manusia.
Sedangkan,
Nurcholis Madjid berpendapat bahwa sunnatullah dalam Al-Qur’an digunakan untuk
ketentuan-ketentuan tentang kehidupan manusia secara sosial dan historis,
seperti suatu masyarakat yang mengabaikana keadilan dan hancur, tanpa
memperdulikan anggota masyarakat itu berkeagamaan atau tidak, praktek
kebiasaan, atau adat dari Allah Sang Maha Pencipta untuk kehidupan manusia
ciptaan-Nya. Dengan kata lain, sunnatullah adalah ketentuan-ketentuan atau
hukum yang berlaku untuk kehidupan manusia, yang tidak ada perubahan ataupun
penyimpangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
“sebagai sunnah Allah yang berlaku atas
orang-orang yang telah terdahulu sebelum, dan kamu sekali-kali tiadakan
mendapati perubahan pada sunnah Allah.”(QS Al-Ahzab [33]:62)
“maka kamu sekali-kali tidak akan mendapati
perubahan bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak pula kamu akan menemui
penyimpangan bagi sunnah Allah”.(QS Fathir [35]:43)
Sunnatullah
diatur dan ditetapkan oleh Allah yang Maha Kuasa tanpa ada penyimpangan di alam
ini, sesuai dengan keseimbangan, kestabilan, dan keteraturan. Ada malam dan ada
siang ada bulan dan ada matahari, ada
bumi dan ada langit, ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang lahir dan ada
yang mati, ada yang senang dan ada yang sedih, ada yang kaya dan ada yang
miskin, ada aman dan ada yang ketakutan, ada yang makmur dan ada yang
kelaparan, dan seterusnya. Semua itu berlangsung sejalan dengan sunnatullah.
Kejadian
di luar ketentuan sunnatullah
merupakan suatu mu’jizat dan hikmah yang dikehendaki Allah. Menurut
Ahmad Kan’an bahwa Allah mencipta dan pengatur sunnah itu, karena dia yang
menentukan sebab dan akibatnya serta dia pulalah yang menginginkan dan
mengkhendaki terjadinya perubahan pada kondisi tertentu, untuk menunjukkan
kemutlakan kekuasaan-Nya dan untuk menunjukkan bahwa dia sendirilah yang
menciptakan dan menguasai sunnah itu. Dengan kata lain, bahwa Allah-lah yang
berkuasa secara mutlak dan tiada seorang pun sanggup untuk merubah sunnah dan
ketentuan Allah itu. Sifat sunnahtullah yang pasti ini merupakan jaminan yang
memberikan kemudahan bagi manusia di dalam membuat rencana yang berdasarkan
perhitungan.
B.
Takdir
Allah
Takdir adalah
ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua
sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun
waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya,
termasuk manusia. Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda
kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan
tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi
Allah melalui Al Quran dan Al Hadits.
2. Pengertian
Takdir Manusia dan Macam Macam Takdir ,
Takdir
merupakan suatu ketentuan yang telah di tetapkan dan semua ketentuan untuk
tidak dapat di ubah, dan apabila kita ingin mengubah maka denagn banyak berdoa
dan menunaikan sebanyak banyak amal ibadah.
Berikut
ulasan tentang pengertian takdir manusia dan macam macam takdir, Di dalam
ajaran agama Islam Takdir dibedakan menjadi dua macam yaitu takdir mbram dan
tajdir mualak, antara lain :
a. Takdir
Mubram, merupakan ketentuan Allah swt yang sudah pasti berlaku
atas manusia tanpa dapat dielakkan lagi meskipun dengan ikhtiar (usaha). Firman
Allah swt dalam Al Quran Surah Yunus Ayat 49 yang
Artinya :“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka,
maka mereka tidk dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula)
mendahuluinya.”
b. Takdir
Mualak, merupakan ketentuan Allah swt. yang mungkin dapat diubah oleh
manusia melalui ikhtiar bila Alah swt. mengijinkan.[3] Firman
Allah swt. dalam Al Quran Surah Ar Ra’du Ayat 11 yang artinya:
“Sesungguhnya
Allah swt. tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaannya
yang ada pada diri mereka sendiri….”
3. Macam Macam
Takdir
Demikian ulasan tentang takdir manusia dan macam
macam takdir ,semoga menambah keimanan di hati kita karena segala yang
ada di dunia ada yang mengatur Macam-macam takdir itu antara lain :
1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat
umum).
Ialah takdir
Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya),
mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini
ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala :
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang
demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah".
Dalam
Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Allah menentukan berbagai ketentuan
para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau
bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air.
2.
At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
Ialah takdir
yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb
mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu,
serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang
yang celaka. Dia berfirman :
"Dan
(ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
Bukankah Aku ini Rabb-mu. Mereka menjawab, Betul (Engkau Rabb kami), kami
menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak
mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Rabb)." [Al-A'raaf:172]
Dari Hisyam
bin Hakim, bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
lalu mengatakan, "Apakah amal-amal itu dimulai ataukah ditentukan oleh
qadha'?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Allah
mengambil keturunan Nabi Adam Alaihissalam dari tulang sulbi mereka, kemudian
menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian mengumpulkan mereka
dalam kedua telapak tangan-Nya seraya berfirman, 'Mereka di Surga dan mereka di
Neraka.' Maka ahli Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga dan
ahli Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka."
3.
At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
Ialah segala
takdir (ketentuan) yang terjadi pada hamba dalam kehidupannya hingga akhir
ajalnya, dan juga ketetapan tentang kesengsaraan atau kebahagiaannya.
Hal tersebut
ditunjukkan oleh hadits ash-Shadiqul Mashduq (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam) dalam Shahiihain dari Ibnu Mas'ud secara marfu':
"Sesungguhnya
salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama
mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh
hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus
seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis)
dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau
bahagia(nya)."
4.
At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
Yaitu dalam
malam Qadar (Lailatul Qadar) pada setiap tahun. Hal itu ditunjukkan oleh firman
Allah Ta'a Ad-Dukhaan: 4
"Pada
malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar." [Al-Qadr: 4-5]
Disebutkan,
bahwa pada malam tersebut ditulis apa yang akan terjadi dalam setahun (ke
depan,-ed.) mengenai kematian, kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga rizki
dan hujan, hingga (mengenai siapakah) orang-orang yang (akan) berhaji.
Dikatakan (pada takdir itu), fulan akan berhaji dan fulan akan berhaji.
Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma,
demikian juga al-Hasan serta Sa'id bin Jubair.
5.
At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian)
Dalilnya
ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Setiap
waktu Dia dalam kesibukan." [Ar-Rahmaan: 29]
Disebutkan
mengenai tafsir ayat tersebut: Kesibukan-Nya ialah memuliakan dan menghinakan,
meninggikan dan merendahkan (derajat), memberi dan menghalangi, menjadikan kaya
dan fakir, membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, dan
seterusnya.
Takdir
menurut Nurcholis Madjid adalah hukum ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan
untuk mengatur pola perjalanan dan tingkah laku dalam ciptaan-Nya, khususnya
alam material. Sedangkan, Sayid Sabiq menyatakan bahwa takdir adalah suatu
peraturan yang tertentu yang telah dibuat oleh Allah untuk segala yang ada
dalam alam semesta yang mawujud ini.
Peraturan itu merupakan Undang-undang umum atau kepastian yang berlaku antara
sebab dan musababnya, anata sebab dan akibatnya. Dalam kaitan ini, Allah
berfirman,
“Allah
mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang
kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada
ketentuan takdir.” (Q.S. Ar-Ra’d [13] :
21)
“dan
tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah Khazanah-nya, dan kami tidak
menurunkannya melainkan dengan takdir yang dipastikan “. (Q.S. Al-Hijr [15] :
21)
Takdir
dalam ayat ini, maksudnya bahwa semua yang diciptakan Allah menurut
kehendak-Nya. Takdir baik dan buruk adalah ketentuan yang diciptakan Allah
untuk seluruh makhluk sesuai dengan ilmu-Nya dan hikmah kebijaksanaan-Nya.
Takdir menurut Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, ada empat tingkat untuk
memahami takdir Allah, yaitu :
1. Mengimani
bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu, mengetahui apa yang telah terjadi
dan apa yang akan terjadi, dengan ilmu-Nya yang Azali dan abadi.
2. Mengimani
bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi sampai hari kiamat.
3. Mengimani
bahwa Allah telah menghendaki segala apa yang ada dilangit dan di bumi, tiada
sesuatu pun yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah
yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi.
4. Mengimani
bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Setiap
muslim wajib mengimani takdir Allah sebagai rukun iman yang ke enam.
Berdasarkan uraian diatas, apa yang terjadi dialam semesta adalah sesuai dengan
ketentuan hukum Allah, sesuai dengan ciptaan-Nya, sesuai dengan ilmu dan
hikmah-Nya. Disamping itu, kita mengimani juga bahwa Allah memberikan kepada
makhluk-Nya kehendak dan kemampuan untuk berbuat, sesuai dengan kehendak dan kemampuan-Nya.
Allah memberikan kebebasan kepada manusia, untuk memilih menjadi baik atau
jahat, menjadi beriman atau kafir, mau masuk surga atau masuk neraka, mau kaya
atau mau menjadi miskin. Semua itu tergantung kepada manusianya sendiri yang
telah diberikan potensi akal oleh Allah untuk memperdayagunakannya.
Apa
yang diperbuat oleh manusia, akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, baik
yang jahat maupun yang baik, yang beriman maupun yang tidak beriman. Pada
hakikatnya semua itu menuju takdir Allah sesuai dengan apa yang mereka perbuat.
Iman Abu Hanifah menyatakan bahwa kemaksiatan seluruhnya dengan ilmu Allah,
Qadha, takdir dan kehendak-Nya, tetapi bukan dengan mahabah-Nya, juga bukan
dengan ridha dan perintah-Nya. Begitu juga yang berbuat baik, seluruhnya dengan
ilmu Allah, qadha, takdir, masyiah, mahabah dan perintah-Nya. Allah tidak akan
mendhalimi hamba-Nya, kecuali hamba itu yang mendhalimi dirinya sendiri, tidak
taat dan tidak patuh terhadap apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Maka,
mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Kalau beriman kepada
Allah akan dimasukkan ke Surga-Nya dan kalau kafir akan dimasukkan juga kedalam
neraka-Nya. Hal itu sesuai dengan takdir dan keadilan Allah.
Diatas
dijelaskan bahwa sunnatullah adalah suatu hukum ketentuan yang berlaku untuk
alam kehidupan manusia, sedangkan takdir Allah suatu hukum ketentuan yang pasti
berlaku untuk lingkungan hidup alam kebendaan. Kebudayaan ini, tidak berdiri
sendiri melainkan ditetapkan dan dibuat sesuai dengan kehendak Allah Yang Maha
Pencipta. Semua itu, agar manusia mempelajari dan memahaminya sebagai makhluk
yang berpikir.
C.
Keadilan
Ilahi
Keadilan
ilahi merupakan salah satu dari permasalahan yang sangat urgen dalam akidah dan
teologi. Keadilan sebagaimana halnya dengan tauhid merupakan salah satu
pembahasan sifat Allah. Akan tetapi, karena pentingnya menerima dan meyakini
sifat tersebut sehingga memiliki tempat khusus dalam pembahassan akidah dan
teologi Islam. Karena urgensinya, pembahasan tersebut ia menjadi salah satu
dari rukun-rukun iman (ushuluddin) yang lima atau rukun-rukun keimanan mazhab
(ushulul mazhab) disamping rukun-rukun yang lain seperti tauhid, kenabian,
keimamahan, eskatologi (ma’ad, hari akhirat), dan tidak disanksikan lagi
bahwa posisi yang penting ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di sini kami
hanya akan menyebutkan dua faktor yang paling penting:
1. Keadilan Ilahi memiliki cakupan yang
sangat luas, penerimaan atasnya memiliki peran yang sangat penting terhadap
pandangan kita terhadap Tuhan, dan dengan kata lain teologi Islam bergantung
pada keadilan ilahi. Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan
sistem penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri’i), penerimaan
atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita terhadap
dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang sangat
penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab akhirat,
dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi semata dan
perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha dan qadar Ilahi,
memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku manusia, memberikan semangat
untuk menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman dalam kehidupan
bermasyarakat dan kemanusian.
2. Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran
teologi terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan
perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi,
sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan
keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan Tuhan
dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah pandangan para
pendukung Muawiyyah.
Teolog
Imamiah dan teolog Muktazilah mengikuti jejak para Imam Suci tersebut dalam
pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada akhirnya terkenal sebagai kelompok
‘Adliyyah yang berseberangan dengan kelompok Asy’ariyyah yang menolak pandangan
terhadap keadilah Ilahi, Asy’ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami
secara umum. Dalam pandangan mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin
ke dalam neraka dan memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala
perbuatan Tuhan itu adalah keadilan itu sendiri.
Bagaimana
pun, dalam masalah ini, sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar,
keterpaksaan dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut
khilafah dengan cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada
Rasulullah Saw, dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan
syariat mereka kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan
seluruh perbuatan ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam
catatan sejarah pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting
dan mempunyai posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan
yang lain.
Allah
tidak akn mendholimi kepada hamba-Nya yang berbuat baik ataupun yang berbuat
jahat, sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Kalau mereka berbuat baik maka
surga tempatnya dan kalau mereka berbuat jahat maka tempatnya adalah neraka.
Beraarti Allah adil menepatkan mereka, karena adil menurut Al-Qadhi Abdul Jabar
adalah hak-hak seseorang sesuai dengan kewajiban yamg dilaksanakannya. Begitu
juga, Abdul Hasan Al-Asy’ary menyatakan bahwa semua perbuatan Allah adalah
adil, ia adil dalam menjadikan orang beriman maupun orang kafir, dan ia adil
juga menyiksa mereka di akhir.
Keadilan
Allah tidak akan meruugikan sedikitpun kepada hamba-Nya dan tidak menanganinya.
Karena Allah mencatat semua perbuatan hamba-Nya baik yang beriman maupun yang
kafir. Oleh juga adil memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya, dalam hal
ini Allah berfirman,
“kami
akan memasang timbangan yang adil padaa hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. Dan jika pahala itu hanya seberat biji sawi pun
pasti akan mendapatkan pahalanya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat
perhitungannya”. (QS Al-Anbiya [21]:47)
“pada
hari ini seseorang tidak akan didzalimi sedikitpun dan kami tidak akan diberi
balasan kecuali sesuai dengan apa yang dikerjakan”.(QS Yasin [36]:54)
Di
hari kiamat nanti, Allah akan memutuskan hukuman kepadaa makhluknya dengan
adil. Keadilan Allah karena tidak merugikan dan tidak mengurangi sedikitpun
atsa amal perbuatannya. Keadilan Allah menurut Al-Qadhi Abdul Jabar adalah:
1. Allah
tidak mendzalimi seseorang sedikitpun, justru itu Allah Maha Suci dari berbuat
dzalim.
2. Allah
tidak akan menahan hak-hak seseorang walaupun dalam ukuran yang sangat sedikit,
bagi yang memiliki sifat seperti ini tentunya tidak mungkin mendzalimi berasal
dari dirinya.
3. Allah
menggunakan neraca dengan adil dan perhitungan yang cermat, andai kata ia
berbuat dzalim maka pernyataan tersebut
tidak berarti sama sekali.
Keadilan
Allah tidak akan mendzalimi manusia dan ia pun tidak mengingkari janji-Nya.
Kalau Allah mendzalimi dan mengingkari janji maka Allah tidak adil, tetapi
mustahil Allah tidak adil karena ia memiliki keadilan yang bersifat Rahman dan
Rahim. Dalam kaitan ini, Hamka menyatakan bahwa keadilan Allah mengandung sifat
Rahman dan Rahim, termasuk melipatgandakan balasan kebaikan dengan sepuluh
ganda kebaikan; sedangkan jika manusia berbuat jahat akan dibalas dengan nilai
satu bagi balasan kejahatan.
Oleh
karena itu, memandang keadilan Allah tidak bisa dari satu sisi, karena keadilan
Allah bisa juga dilihat dari kekuasaan Allah yang mutlak. Bisa dari penciptaan
manusia yang diberikan kebebasan untuk memilih dan bisa juga dilihat dari janji
dan ancaman Allah. Semua itu, menunjukkan atas keadilan Allah dan Allah juga
telah menentukan sunnah dan takdir-Nya.
Demikianlah,
islam adalah agama tauhid yang meng-Esakan Allah, karena Allah yang Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Allah juga yang telah menentukan takdir dan sunnatullah.
Takdir dan sunnatullah merupakan suatu ketetapan hukum Allah yang ditunjukkan
kepada semua makhluknya. Sunnatullah adalah fenomena yang terjadi di alam
kehidupan manusia seperti kematian adalah kepastian dari Allah, karena setiap
yang berjiwa pasti mati. Kepastian yang disebut dengan takdir Allah.
Manusia
tidak dapat menghindar dari takdir Allah, sebab Allah telah menentukan
kepadanya aturan dan perintah serta larangan-Nya. Jika manusia melanggar aturan
dan perintah Allah maka akan menerima siksa, dan sebaliknya jika manusia
mengikuti aturan Allah dengan benar maka akan menerima pahala. Hal ini sesuai
dengan keadilan Allah.
“bukankah
Allah sebagai hakim yang adil”. (QS At-Tin [95]:8)
Menurut
Anwar Harjono, masalah-masalah hukum, kekuasaan dan keaadilan adalah masalah
abadi, mengenai itu Al-Qur’an memberikan petunjuk adanya tiga macam hukum,
yakni:
1. Hukum
yang mengatur alam semesta seluruhnya yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan
Tuhan.
2. Hukum
yang dibuat manusia dan berlaku untuk (mengatur) masyarakat manusia sendiri.
3. Hukum
yang tidak pada hakikatnya berpengaruh dan bahkan pada hakikatnya berlaku untuk
(mengatur) masyarakat manusia, dengan atau tanpa persetujuan manusia yang
disebut sunnatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar