Selasa, 15 Desember 2015

SUNNATULLAH, TAKDIR DAN KEADILAN ILAHI

A.   Sunnatullah
Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Sunnah atau ketetapan Allah antara lain:
·         Selalu ada dua kondisi saling ekstrem (surga-neraka, benar-salah, baik-buruk)
·         Segala sesuatu diciptakan berpasangan (dua entitas atau lebih). Saling cocok maupun saling bertolakan.
·         Selalu terjadi pergantian dan perubahan antara dua kondisi yang saling berbeda.
·         Perubahan, penciptaan maupun penghancuran selalu melewati proses.
·         Alam diciptakan dengan keteraturan.
·         Alam diciptakan dalam keadaan seimbang.
·          Alam diciptakan terus berkembang.
·          Setiap terjadi kerusakan di alam manusia, Allah mengutus seorang utusan untuk memberi peringatan atau memperbaiki kerusakan tersebut.
Sunnatullah terdiri dua suku kata, yaitu sunnah dan Allah. Sunnah artinya adalah kebiasaan. Jadi sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan atau ketetapan-ketetapan Allah. Kata sunnatullah dan yang sejenisnya seperti sunnatuna, sunnatu al-awwalin terulang sebanyak tiga belas kali dalam al-Qur'an. Jika dipukulratakan secara statistik, semua kata tersebut berbicara dalam konteks kemasyarakatan.
Sunnatullah atau disebut juga dengan hukum alam, hukum kemasyarakat-an, atau ketetapan-ketetapan Allah menyangkut situasi kemasyarakatan, tidak dapat dialihkan dan diubah oleh siapapun. Sunnatullah ini sudah berlaku pada umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW dan berlaku secara umum serta terus-menerus terjadi. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur'an yang berbunyi
... فهل ينظرون إلا سنت الله الأولين فلن تجد لسنة الله تبديلا ولن تجد لسنة الله تحويلا.
Artinya: …tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu.
Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunah Allah, sekali-kali kamu tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah itu.
سنة الله التي قد خلت من قبل ولن تجد لسنة الله تبديلا
Artinya: sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
Sebenarnya masih banyak lagi ayat al-Qur'an yang membahas masalah ini. Dan semua ayat tersebut berbicara dalam konteks kemasyaratan.
Al-Qur'an merupakan kitab pertama kali yang membicarakan tentang hukum alam (sunnatullah). Uraian al-Qur'an tentang hukum kemasyarakatan, hukum alam atau sunnatullah wajar, karena al-Qur'an merupakan kitab suci dan transenden yang berfungsi mengeluarkan manusia dari gelap-gulita (al-dhulumat) menuju terang benderang (al-nur).
Sunnatullah dalam Al-Qur’an, menurut Muhammad Fuad Abdul Baqi terungkap delapan kali dalam empat surat. Sunnatullah menurut Ahmad Kan’an adalah hukum-hukum yang terdapat di dalam ciptaan-Nya. Begitu juga, Hamka memberikan suatu ilustrasi bahwa sama keadaan sunnatullah itu dengan air hilir, pasti meneruti aturan yang ditetapkan Allah, yaitu menurun kepada yang lebih rendah sampai kelaut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya bagi manusia sebagai khalifatullah yang bertugas memakmurkan bumi untuk memehami sunatullah(ketentuan dan ketetapan hukum Allah) yang ada di alam semesta ini, baik benda mati, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun manusia.
Sedangkan, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa sunnatullah dalam Al-Qur’an digunakan untuk ketentuan-ketentuan tentang kehidupan manusia secara sosial dan historis, seperti suatu masyarakat yang mengabaikana keadilan dan hancur, tanpa memperdulikan anggota masyarakat itu berkeagamaan atau tidak, praktek kebiasaan, atau adat dari Allah Sang Maha Pencipta untuk kehidupan manusia ciptaan-Nya. Dengan kata lain, sunnatullah adalah ketentuan-ketentuan atau hukum yang berlaku untuk kehidupan manusia, yang tidak ada perubahan ataupun penyimpangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah sebagai berikut:
sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum, dan kamu sekali-kali tiadakan mendapati perubahan pada sunnah Allah.”(QS Al-Ahzab [33]:62)
maka kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak pula kamu akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah”.(QS Fathir [35]:43)
Sunnatullah diatur dan ditetapkan oleh Allah yang Maha Kuasa tanpa ada penyimpangan di alam ini, sesuai dengan keseimbangan, kestabilan, dan keteraturan. Ada malam dan ada siang ada bulan dan  ada matahari, ada bumi dan ada langit, ada laki-laki dan ada perempuan, ada yang lahir dan ada yang mati, ada yang senang dan ada yang sedih, ada yang kaya dan ada yang miskin, ada aman dan ada yang ketakutan, ada yang makmur dan ada yang kelaparan, dan seterusnya. Semua itu berlangsung sejalan dengan sunnatullah.
Kejadian di luar ketentuan sunnatullah merupakan suatu mu’jizat dan hikmah yang dikehendaki Allah. Menurut Ahmad Kan’an bahwa Allah mencipta dan pengatur sunnah itu, karena dia yang menentukan sebab dan akibatnya serta dia pulalah yang menginginkan dan mengkhendaki terjadinya perubahan pada kondisi tertentu, untuk menunjukkan kemutlakan kekuasaan-Nya dan untuk menunjukkan bahwa dia sendirilah yang menciptakan dan menguasai sunnah itu. Dengan kata lain, bahwa Allah-lah yang berkuasa secara mutlak dan tiada seorang pun sanggup untuk merubah sunnah dan ketentuan Allah itu. Sifat sunnahtullah yang pasti ini merupakan jaminan yang memberikan kemudahan bagi manusia di dalam membuat rencana yang berdasarkan perhitungan.
B.   Takdir Allah
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia. Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits.
2.  Pengertian Takdir Manusia dan Macam Macam Takdir ,
Takdir merupakan suatu ketentuan yang telah di tetapkan dan semua ketentuan untuk tidak dapat di ubah, dan apabila kita ingin mengubah maka denagn banyak berdoa dan menunaikan sebanyak banyak amal ibadah.
Berikut ulasan tentang pengertian takdir manusia dan macam macam takdir, Di dalam ajaran agama Islam Takdir dibedakan menjadi dua macam yaitu takdir mbram dan tajdir mualak, antara lain :
a.    Takdir Mubram, merupakan ketentuan Allah swt  yang sudah pasti berlaku atas manusia tanpa dapat dielakkan lagi meskipun dengan ikhtiar (usaha). Firman Allah swt dalam Al Quran Surah Yunus Ayat 49 yang
Artinya :“Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidk dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahuluinya.”
b.    Takdir Mualak, merupakan ketentuan Allah swt. yang mungkin dapat diubah oleh manusia  melalui ikhtiar bila Alah swt. mengijinkan.[3] Firman Allah swt. dalam Al Quran Surah Ar Ra’du Ayat 11 yang artinya: 
“Sesungguhnya Allah swt. tidak akan mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri….”

3.      Macam Macam Takdir
Demikian ulasan tentang takdir manusia dan macam macam takdir  ,semoga menambah keimanan di hati kita karena segala yang ada di dunia ada yang mengatur Macam-macam takdir itu antara lain :
1.  At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum).
Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.
Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala :
"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah".
Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air.


2. At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka. Dia berfirman :
"Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Rabb-mu. Mereka menjawab, Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)." [Al-A'raaf:172]
Dari Hisyam bin Hakim, bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu mengatakan, "Apakah amal-amal itu dimulai ataukah ditentukan oleh qadha'?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
"Allah mengambil keturunan Nabi Adam Alaihissalam dari tulang sulbi mereka, kemudian menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian mengumpulkan mereka dalam kedua telapak tangan-Nya seraya berfirman, 'Mereka di Surga dan mereka di Neraka.' Maka ahli Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga dan ahli Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka."
3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
Ialah segala takdir (ketentuan) yang terjadi pada hamba dalam kehidupannya hingga akhir ajalnya, dan juga ketetapan tentang kesengsaraan atau kebahagiaannya.
Hal tersebut ditunjukkan oleh hadits ash-Shadiqul Mashduq (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam Shahiihain dari Ibnu Mas'ud secara marfu':
"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya)."
4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
Yaitu dalam malam Qadar (Lailatul Qadar) pada setiap tahun. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta'a Ad-Dukhaan: 4
"Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." [Al-Qadr: 4-5]
Disebutkan, bahwa pada malam tersebut ditulis apa yang akan terjadi dalam setahun (ke depan,-ed.) mengenai kematian, kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga rizki dan hujan, hingga (mengenai siapakah) orang-orang yang (akan) berhaji. Dikatakan (pada takdir itu), fulan akan berhaji dan fulan akan berhaji. Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, demikian juga al-Hasan serta Sa'id bin Jubair.
5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian)
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala
"Setiap waktu Dia dalam kesibukan." [Ar-Rahmaan: 29]
Disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut: Kesibukan-Nya ialah memuliakan dan menghinakan, meninggikan dan merendahkan (derajat), memberi dan menghalangi, menjadikan kaya dan fakir, membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, dan seterusnya.
Takdir menurut Nurcholis Madjid adalah hukum ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan untuk mengatur pola perjalanan dan tingkah laku dalam ciptaan-Nya, khususnya alam material. Sedangkan, Sayid Sabiq menyatakan bahwa takdir adalah suatu peraturan yang tertentu yang telah dibuat oleh Allah untuk segala yang ada dalam alam semesta yang mawujud ini. Peraturan itu merupakan Undang-undang umum atau kepastian yang berlaku antara sebab dan musababnya, anata sebab dan akibatnya. Dalam kaitan ini, Allah berfirman,
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ketentuan takdir.” (Q.S. Ar-Ra’d  [13] : 21)
“dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah Khazanah-nya, dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan takdir yang dipastikan “. (Q.S. Al-Hijr [15] : 21)
Takdir dalam ayat ini, maksudnya bahwa semua yang diciptakan Allah menurut kehendak-Nya. Takdir baik dan buruk adalah ketentuan yang diciptakan Allah untuk seluruh makhluk sesuai dengan ilmu-Nya dan hikmah kebijaksanaan-Nya. Takdir menurut Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, ada empat tingkat untuk memahami takdir Allah, yaitu :
1.    Mengimani bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu, mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, dengan ilmu-Nya yang Azali dan abadi.
2.    Mengimani bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi sampai hari kiamat.
3.    Mengimani bahwa Allah telah menghendaki segala apa yang ada dilangit dan di bumi, tiada sesuatu pun yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi.
4.    Mengimani bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Setiap muslim wajib mengimani takdir Allah sebagai rukun iman yang ke enam. Berdasarkan uraian diatas, apa yang terjadi dialam semesta adalah sesuai dengan ketentuan hukum Allah, sesuai dengan ciptaan-Nya, sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya. Disamping itu, kita mengimani juga bahwa Allah memberikan kepada makhluk-Nya kehendak dan kemampuan untuk berbuat, sesuai dengan kehendak dan kemampuan-Nya. Allah memberikan kebebasan kepada manusia, untuk memilih menjadi baik atau jahat, menjadi beriman atau kafir, mau masuk surga atau masuk neraka, mau kaya atau mau menjadi miskin. Semua itu tergantung kepada manusianya sendiri yang telah diberikan potensi akal oleh Allah untuk memperdayagunakannya.
Apa yang diperbuat oleh manusia, akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah, baik yang jahat maupun yang baik, yang beriman maupun yang tidak beriman. Pada hakikatnya semua itu menuju takdir Allah sesuai dengan apa yang mereka perbuat. Iman Abu Hanifah menyatakan bahwa kemaksiatan seluruhnya dengan ilmu Allah, Qadha, takdir dan kehendak-Nya, tetapi bukan dengan mahabah-Nya, juga bukan dengan ridha dan perintah-Nya. Begitu juga yang berbuat baik, seluruhnya dengan ilmu Allah, qadha, takdir, masyiah, mahabah dan perintah-Nya. Allah tidak akan mendhalimi hamba-Nya, kecuali hamba itu yang mendhalimi dirinya sendiri, tidak taat dan tidak patuh terhadap apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Maka, mereka harus bertanggung jawab atas perbuatannya itu. Kalau beriman kepada Allah akan dimasukkan ke Surga-Nya dan kalau kafir akan dimasukkan juga kedalam neraka-Nya. Hal itu sesuai dengan takdir dan keadilan Allah.
Diatas dijelaskan bahwa sunnatullah adalah suatu hukum ketentuan yang berlaku untuk alam kehidupan manusia, sedangkan takdir Allah suatu hukum ketentuan yang pasti berlaku untuk lingkungan hidup alam kebendaan. Kebudayaan ini, tidak berdiri sendiri melainkan ditetapkan dan dibuat sesuai dengan kehendak Allah Yang Maha Pencipta. Semua itu, agar manusia mempelajari dan memahaminya sebagai makhluk yang berpikir.
C.   Keadilan Ilahi
Keadilan ilahi merupakan salah satu dari permasalahan yang sangat urgen dalam akidah dan teologi. Keadilan sebagaimana halnya dengan tauhid  merupakan salah satu pembahasan sifat Allah. Akan tetapi, karena pentingnya menerima dan meyakini sifat tersebut sehingga memiliki tempat khusus dalam pembahassan akidah dan teologi Islam. Karena urgensinya, pembahasan tersebut ia menjadi salah satu dari rukun-rukun iman (ushuluddin) yang lima atau rukun-rukun keimanan mazhab (ushulul mazhab) disamping rukun-rukun yang lain seperti tauhid, kenabian, keimamahan, eskatologi  (ma’ad, hari akhirat), dan tidak disanksikan lagi bahwa posisi yang penting ini disebabkan oleh beberapa faktor. Di sini kami hanya akan menyebutkan dua faktor yang paling penting:
1. Keadilan Ilahi memiliki cakupan yang sangat luas, penerimaan atasnya memiliki peran yang sangat penting terhadap pandangan kita terhadap Tuhan, dan dengan kata lain teologi Islam bergantung pada keadilan ilahi. Keadilan Ilahi memiliki hubungan yang sangat erat dengan sistem penciptaan alam (takwini) dan hukum-hukum agama (tasyri’i), penerimaan atas konsep keadilan ilahi akan merubah seluruh pandangan hidup kita terhadap dunia, selain itu, keadilan ilahi merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam menetapkan persoalan eskatologi, pahala, siksa, dan azab akhirat, dan pada akhirnya keadilan Ilahi bukanlah hanya persoalan teologi semata dan perbedaan sudut pandang teologis. Keimanan terhadap qadha dan qadar Ilahi, memilik sudut pandang pendidikan dalam perilaku manusia, memberikan semangat untuk menegakkan keadilan, dan memberantas kezaliman dalam kehidupan bermasyarakat dan kemanusian.
2. Keadilan Ilahi dalam sejarah pemikiran teologi terutama pada abad pertama sejarah Islam sudah menjadi perbincangan dan perdebatan. Para Imam Suci sejak awal sudah menegaskan tentang keadilan Ilahi, sehingga kalimat tersebut menjadi syiar bagi mazhab Syiah Imamiah. Tauhid dan keadilan adalah pandangan pendukung Imam Ali As dan tasybih (penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya) dan keterpaksaan (jabr, determinasi) adalah pandangan para pendukung Muawiyyah.
Teolog Imamiah dan teolog Muktazilah mengikuti jejak para Imam Suci tersebut dalam pandangan tentang keadilan Ilahi dan pada akhirnya terkenal sebagai kelompok ‘Adliyyah yang berseberangan dengan kelompok Asy’ariyyah yang menolak pandangan terhadap keadilah Ilahi, Asy’ariyyah mengingkari defenisi keadilan yang dipahami secara umum. Dalam pandangan mereka, Tuhan bisa saja memasukkan seluruh Mukmin ke dalam neraka dan memasukkan seluruh kafir ke dalam syurga, karena segala perbuatan Tuhan itu adalah keadilan itu sendiri.
Bagaimana pun, dalam masalah ini, sebagaimana halnya pembahasan qadha dan qadar, keterpaksaan dan kehendak bebas, para pemimpim zalim ketika mereka merebut khilafah dengan cara yang tidak sah dan lalu menyandarkan khilafahnya kepada Rasulullah Saw, dan untuk menjaga kepentingan mereka yang tidak sesuai dengan syariat mereka kemudian menolak pandangan keadilan Ilahi untuk membenarkan seluruh perbuatan ketidakadilan dan kedzaliman mereka, oleh karena itu, dalam catatan sejarah pembahasan keadilan Ilahi merupakan faktor yang sangat penting dan mempunyai posisi yang lebih strategis dibanding dengan sifat-sifat Tuhan yang lain.

Allah tidak akn mendholimi kepada hamba-Nya yang berbuat baik ataupun yang berbuat jahat, sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Kalau mereka berbuat baik maka surga tempatnya dan kalau mereka berbuat jahat maka tempatnya adalah neraka. Beraarti Allah adil menepatkan mereka, karena adil menurut Al-Qadhi Abdul Jabar adalah hak-hak seseorang sesuai dengan kewajiban yamg dilaksanakannya. Begitu juga, Abdul Hasan Al-Asy’ary menyatakan bahwa semua perbuatan Allah adalah adil, ia adil dalam menjadikan orang beriman maupun orang kafir, dan ia adil juga menyiksa mereka di akhir.
Keadilan Allah tidak akan meruugikan sedikitpun kepada hamba-Nya dan tidak menanganinya. Karena Allah mencatat semua perbuatan hamba-Nya baik yang beriman maupun yang kafir. Oleh juga adil memberikan pahala atau siksa kepada hamba-Nya, dalam hal ini Allah berfirman,
“kami akan memasang timbangan yang adil padaa hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika pahala itu hanya seberat biji sawi pun pasti akan mendapatkan pahalanya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungannya”. (QS Al-Anbiya [21]:47)
“pada hari ini seseorang tidak akan didzalimi sedikitpun dan kami tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang dikerjakan”.(QS Yasin [36]:54)
Di hari kiamat nanti, Allah akan memutuskan hukuman kepadaa makhluknya dengan adil. Keadilan Allah karena tidak merugikan dan tidak mengurangi sedikitpun atsa amal perbuatannya. Keadilan Allah menurut Al-Qadhi Abdul Jabar adalah:
1.    Allah tidak mendzalimi seseorang sedikitpun, justru itu Allah Maha Suci dari berbuat dzalim.
2.    Allah tidak akan menahan hak-hak seseorang walaupun dalam ukuran yang sangat sedikit, bagi yang memiliki sifat seperti ini tentunya tidak mungkin mendzalimi berasal dari dirinya.
3.    Allah menggunakan neraca dengan adil dan perhitungan yang cermat, andai kata ia berbuat dzalim maka pernyataan  tersebut tidak berarti sama sekali.
Keadilan Allah tidak akan mendzalimi manusia dan ia pun tidak mengingkari janji-Nya. Kalau Allah mendzalimi dan mengingkari janji maka Allah tidak adil, tetapi mustahil Allah tidak adil karena ia memiliki keadilan yang bersifat Rahman dan Rahim. Dalam kaitan ini, Hamka menyatakan bahwa keadilan Allah mengandung sifat Rahman dan Rahim, termasuk melipatgandakan balasan kebaikan dengan sepuluh ganda kebaikan; sedangkan jika manusia berbuat jahat akan dibalas dengan nilai satu bagi balasan kejahatan.
Oleh karena itu, memandang keadilan Allah tidak bisa dari satu sisi, karena keadilan Allah bisa juga dilihat dari kekuasaan Allah yang mutlak. Bisa dari penciptaan manusia yang diberikan kebebasan untuk memilih dan bisa juga dilihat dari janji dan ancaman Allah. Semua itu, menunjukkan atas keadilan Allah dan Allah juga telah menentukan sunnah dan takdir-Nya.
Demikianlah, islam adalah agama tauhid yang meng-Esakan Allah, karena Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah juga yang telah menentukan takdir dan sunnatullah. Takdir dan sunnatullah merupakan suatu ketetapan hukum Allah yang ditunjukkan kepada semua makhluknya. Sunnatullah adalah fenomena yang terjadi di alam kehidupan manusia seperti kematian adalah kepastian dari Allah, karena setiap yang berjiwa pasti mati. Kepastian yang disebut dengan takdir Allah.
Manusia tidak dapat menghindar dari takdir Allah, sebab Allah telah menentukan kepadanya aturan dan perintah serta larangan-Nya. Jika manusia melanggar aturan dan perintah Allah maka akan menerima siksa, dan sebaliknya jika manusia mengikuti aturan Allah dengan benar maka akan menerima pahala. Hal ini sesuai dengan keadilan Allah.
“bukankah Allah sebagai hakim yang adil”. (QS At-Tin [95]:8)
Menurut Anwar Harjono, masalah-masalah hukum, kekuasaan dan keaadilan adalah masalah abadi, mengenai itu Al-Qur’an memberikan petunjuk adanya tiga macam hukum, yakni:
1.    Hukum yang mengatur alam semesta seluruhnya yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan.
2.    Hukum yang dibuat manusia dan berlaku untuk (mengatur) masyarakat manusia sendiri.
3.    Hukum yang tidak pada hakikatnya berpengaruh dan bahkan pada hakikatnya berlaku untuk (mengatur) masyarakat manusia, dengan atau tanpa persetujuan manusia yang disebut sunnatullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar