Selasa, 15 Desember 2015

PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang    
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kodrat untuk selalu membutuhkan satu dengan yang lain, dan saling bersama serta mampu menyesuaikan terhadap lingkungannya. Secara harpiah dan kebutuhan, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari orang lain. Dan dalam kondisi apapun manusia mampu memenuhi adaptasi dengan lingkungannya. Namun, didengung – dengungkan, manusia harus mandiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Mengenai mandiri, biasanya di tanamkan pada diri seorang anak sejak kecil, dengan bermaksud tidak selalu tergantung pada orang lain. Kalau kata mandiri kita acukan kepada peserta didik, melainkan anak akan merasa jauh dan jenuh karena pada masa anak – anak masih di perlukannya pendekatan. Namun sebaliknya, penyesuaian diri peserta didik maka harus mampu beradaptasi secara tepat terhadap lingkungannya, padahal prospeknya memerlukan proses. Kemandirian dan penyesuaian peserta didik, menunjukan sikap anak untuk tidak selalu terpaku pada guru sekolah atau lingkungan sekolah melainkan juga di luar sekolah. Maka dari itu, makna mandiri dan penyesuaian diri peserta didik mampu member pangaruh pada peserta didik dengan mampu member pengarahan pada peserta didik untuk menjalankannya lebih baik.

B.      Rumusan Masalah
Memaknai masalah yang ada, perkembangan dan penyesuaian peserta didik dilihat dari berbagai hal. Maka akan di kaji berdasarkan:
1.      Apa perkembangan kemandirian peserta didik?
2.      Bagaimana implikasi perkembangna kemandirian peserta didik?
3.      Apa cara mengoptimalkan kecerdasan peserta didik?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui perkembangan kemandirian peserta didik
2.      Untuk mengetahui implikasi perkembangan kemandirian peserta didik
3.      Untuk mengetahui cara mengoptimalkan kecerdasan peserta didik
BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Pengertian Kemandirian
Istilah “Kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapat awalan ‘ke” dan akhiran “an”. Kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda. Maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasaan tentang perkembangan diri itu sendiri, dalam konsep Carls Rogers disebut dengan istilah self, karena diri itu merupakan inti dari kemandirian. Konsep yang sering digunakan atau berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.
 Menurut Chaplin (2002), otonomi adalah kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Seifert dan Hoffnung (1994) mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai “the ability to govern and regulate one’s own thoughts, feeling, and actions freely and responssibly while overcoming feeling of shamw and doubt”.
 Erikson (dalam monks, dkk, (1989), menyatakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses identitas ego, yaitu : merupakan perkembangan kearah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian :
a.       Kondisi dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.
b.      Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
c.       Memiliki kepercayaan dan melaksanakan tugas-tugasnya.
d.      Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.


  1. Bentuk-bentuk, Tingkatan dan karakteristik kemandirian peserta didik
Bentuk-bentuk kemandirian Robert Hovighurts (1972) membedakan kemandirian menjadi 4 bagian sebagai berikut :
1). Kemandirian emosi : Kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak            tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.
2). Kemandirian ekonomi : Kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orng lain.
3). Kemandirian intelektual : Kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4). Kemandirian sosial : Kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.
       Sementara itu, Steiberg (1993) membedaka karakteristik kemandirian atas tiga bentuk yaitu :
        The first emotional autonomy-that aspect of independence related to change in the individual’s close relationship, especially with parent, the second behavioral autonomy-the capacity to make independent decisions and follow through with them. The third char acterization invoves an aspect of independence reffered to as value autonomy-wich is more than simply being able to resist pressures to go along with the demands of other; it means having a set a principles about right and wrong, about what is importaint and what is not.
 Kutipan diatas menunjukan karakteristikdari ketiga aspek kemandirian yaitu :
      5). Kemandirian emosional : Yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan hubungan emosional anatar idividu.
      6). Kemandirian tingkah laku : Ykni suatu kemampuan untuk membuat keputusan tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab.
      7). Kemandirian nilai : Yakni kemampuan memakai seperangkat printis tentang benar dan salah , yang penting dan tidak penting.
C. Tingkatan dan karakteristik kemandirian
Lovinger ( dalam sunaryo kartadinata, 1988), mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristik, yaitu:
1). Tingkat pertama, adalah tingkat imvulsive dan melindungi diri. Ciri-cirinya:
a. Peduli terhadap control dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.
b. Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistic
c. Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype)
d. Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games
e. Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
2). Tingkat kedua, adalah tingkat konformistik, cirri-cirinya:
a. Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan social
b. Cenderung berpikir stereotype dan klise
c. Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal
d. Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian
e. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi
f. Perbedaan kelompok didasarkan atas cirri-ciri eksternal
g. Takut tidak diterima kelompok
h. Tidak sensitif terhadap keindividualan
i. Merasa berdosa jika melanggar aturan


3). Tingkat ketiga, adalah tingkat sadar diri, ciri-cirinya:
a. Mampu berfikir alternatif
b. Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi
c. Peduli untuk mengambil manfaat dari kesmpatan yang ada
d. Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah
e. Memikirkan cara hidup
f. Penyesuaian terhadap situasi dan peranan
4). Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-cirinya:
a. Bertindak atas dasar nilai-nilai internal
b. Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan
c. Mampu melihat keragaman emosi, motif dan perspektif diri sendiri maupun orang lain
d. Sadar akan tanggung jawab
e. Mampu melakukan kritik dan penilaian diri
f. Peduli akan hubungan mutualistik
g. Memiliki tujuan jangka panjang
h. Cenderung melihat peristiwa dalam konteks social
i. Berpikir lebih konpleks dan atas dasar pola analisis
5). Tingkat kelima, adalah tingkat individualitas, ciri-cirinya:
a. Peningkatan kesadaran individualitas
b. Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan
c. Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain
d. Mengenal eksistensi perbedaan individual
e. Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan
f. Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya
g. Mengenal kompleksitas diri
h. Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah social
6). Tingkat keenam, adalah tingkat mandiri. Cirri-cirinya:
a. Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan
b. Cenderung bersikap realistic dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain
c. Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan social
d. Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan
e. Toleran terhadap ambiguitas
f. Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment)
g. Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal
h. Responsif  terhadap kamandirian orang lain
i. Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain
j. Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan
D. Urgensi dan Implikasi Perkembangan Kemandirian Peserta Didik Bagi Pendidikan
1. Urgensi perkembangan kemandirian peserta didik
Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta didik terlihat dari berbagai fenomena yang sangat membutuhkan perhatian dunia pendidikan. Sunaryo kartadinata (1988) menyebutkan beberapa gejala yang berhubungan dengan permasalahan kemandirian yang perlu mendapat perhatian dunia pendidikan, yaitu:
a.       Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas
b.      Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup
c.       Sikap hidup konformistis tanpa pemahaman dan konformistik dengan mengorbankan prinsip
2. Implikasi perkembangan kemandirian peserta didik
            Kemandirian adalah kecakapan yang berkembang sepanjang rentang kehidupan individu yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan. Upaya-upaya yang dilakukan disekolah untuk pengembangan kemandirian peserta didik, yaitu:
a.       Mengembangkan proses mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai
b.      Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah
c.       Member kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan mendorong rasa ingin tahu mereka
d.      Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain
e.       Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak
E. Mengoptimalkan Kecerdasan Peserta Didik
Tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. Cara yang baik untuk mengenali kecerdasan yang paling berkembang pada diri anak adalah dengan mengamati cara mereka memanfaatkan waktu luang. Mereka bebas memilih kegiatan yang disukainya. Kecerdasan pada usia 4 tahun mencapai 50 %, usia 8 tahun 80 % dan pada 18 tahun mencapai 100 %, jadi pendidikan diusai dini sangat penting untuk membantu mengembangkan kecerdasan anak. Gardner menggunakan kata kecerdasan sebagai ganti bakat. Menurutnya, kecerdasan dapat diidentifikasi menjadi 9 kecerdasan yaitu: kecerdasan logis matematis, kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan spasial-visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinetis-ragawi, kecerdasan naturalis, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan eksistensial. Sembilan kecerdasan ini sering dikerucutkan menjadi IQ (Intelegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient).
a.       IQ (Intelegence Quotient)
IQ hanyalah mengukur sebagian kecil dari kecakapan. IQ juga bukan ukuran yang menentukan kesuksesan. Anak yang cerdas adalah anak yang bereaksi secara logis dan berguna terhadap apa yang dialami di lingkungannya. IQ merupakan angka yang dipakai untuk menggambarkan kapasitas berpikir seseorang dibandingkan dengan rata-rata orang lain. Msalnya: Beethoven composer terkenal yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang musical, namun memiliki keterbatasan pada kemampuan matematika dan bahasa, ini berarti jika IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah tapi IQ yang tinggi belum tentu diikuti kreativitas yang tinggi. Semua orang memiliki kecerdasan, tetapi tidak ada orang yang sama walau kembar sekalipun dan ini terjadi berkat pengaruh genetik dan lingkungan yang berbeda pada setiap orang.
b.      EQ (Emotional Quotient)
Kecerdasan emotional dapat dilatih pada anak sejak dini. Pencetus EQ adalah Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelegence. Salah satu pelajaran emosi yang paling mendasar bagi anak adalah bagaimana membedakan perasaannya. Kecerdasan IQ harus diiringi dengan kecerdasan EQ. Dalam berbagai penelitian dalam bidang psikologi bahwa anak yang memiliki EQ tinggi adalah anak-anak yang bahagia, percaya diri, popular, dan lebih sukses. Adapun cara meningkatkan kecerdasan EQ anak adalah:
§  Mengajarkan cara berpikir realitas dan optimis.
§  Membuat kartu emosi.
§  Orang tua hendaknya mendengarkan curahan hati anak.
§  Orang tua hendaknya membacakan dongeng atau buku bersama.
§  Bermain peran atau drama.
§  Melibatkan anak dengan kegiatan olahraga atau organisasi.
§  Banyak memberikan pujian dan motivasi kepada anak.
c.       SQ (Spritual Quotient)
SQ (Spritual Quotient) adalah kemampuan untuk memimpin diri, mengetahui tujuan hidup dan mengatasi frustasi dan depresi, SQ membuat seseorang bersikap tidak egois dan meimiliki empati kepada orang lain. Belum ada penelitian yang terperinci mengenai SQ ini, akan tetapi SQ berhubungan dengan agama anak. SQ anak akan berkembang jika orang tua mampu dan bisa menerapkan fungsi keagamaan yang baik pada diri anak, kemudian di lanjutkan dengan lingkungan baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan masjid. Hasil penelitian dari Prof. Dr. Daniel Colleman, “bapak manajemen” dari AS menunjukkan bahwa keberhasilan seseorang hanya 20% dipengaruhi oleh IQ, selebihnya 80 % dipengaruhi oleh Emotional Quotient (EQ) dan Spritual Quotient (SQ). Di Indonesia, ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual yaitu K. H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya. Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang:
1.      Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu.
2.      Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman.
3.      Mission Statrment, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (perssonal strength) dengan merujuk pada Rukun Iman.
4.      Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu.
5.      Total Action; yaitu suatu usah untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Kemandirian peserta didik adalah bakat kecakapan yang dimiliki peserta didik, ini sangat berkaitan dengan pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian peserta didik, diantaranya :
a.       Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis.
b.      Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah.
c.       Memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan , mendorong rasa ingin tahu mereka.
d.      Peneriman positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain.
e.    Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.

        Dengan semua itu, maka akan terbentuk pribadi peserta didik yang mandiri. Yang juga implikasi untuk keadaan dunia pendidikan yang akan semakin berkembang.
·         Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan anak, yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2) tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai proses perkembangannya.
·         Cara yang baik untuk mengenali kecerdasan yang paling berkembang pada diri anak adalah dengan mengamati cara mereka memanfaatkan waktu luang. Mereka bebas memilih kegiatan yang disukainya. Kecerdasan pada usia 4 tahun mencapai 50 %, usia 8 tahun 80 % dan pada 18 tahun mencapai 100 %, jadi pendidikan diusai dini sangat penting untuk membantu mengembangkan kecerdasan anak. Gardner menggunakan kata kecerdasan sebagai ganti bakat. Menurutnya, kecerdasan dapat diidentifikasi menjadi 9 kecerdasan yaitu: kecerdasan logis matematis, kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan spasial-visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinetis-ragawi, kecerdasan naturalis, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan eksistensial. Sembilan kecerdasan ini sering dikerucutkan menjadi IQ (Intelegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient).

B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini masih banyak mengalami kesalahan, diharapkan bagi pembaca memberikan komentar agar makalah ini dapat lebih baik lagi.

















DAFTAR PUSTAKA

Hosnan M, 2015. Children’s Psychology Development Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar