BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki kodrat untuk selalu
membutuhkan satu dengan yang lain, dan saling bersama serta mampu menyesuaikan
terhadap lingkungannya. Secara harpiah dan kebutuhan, manusia tidak dapat hidup
tanpa bantuan dari orang lain. Dan dalam kondisi apapun manusia mampu memenuhi
adaptasi dengan lingkungannya. Namun, didengung – dengungkan, manusia harus
mandiri dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Mengenai mandiri, biasanya
di tanamkan pada diri seorang anak sejak kecil, dengan bermaksud tidak selalu
tergantung pada orang lain. Kalau kata mandiri kita acukan kepada peserta
didik, melainkan anak akan merasa jauh dan jenuh karena pada masa anak – anak
masih di perlukannya pendekatan. Namun sebaliknya, penyesuaian diri peserta
didik maka harus mampu beradaptasi secara tepat terhadap lingkungannya, padahal
prospeknya memerlukan proses. Kemandirian dan penyesuaian peserta didik,
menunjukan sikap anak untuk tidak selalu terpaku pada guru sekolah atau
lingkungan sekolah melainkan juga di luar sekolah. Maka dari itu, makna mandiri
dan penyesuaian diri peserta didik mampu member pangaruh pada peserta didik
dengan mampu member pengarahan pada peserta didik untuk menjalankannya lebih
baik.
B.
Rumusan Masalah
Memaknai
masalah yang ada, perkembangan dan penyesuaian peserta didik dilihat dari
berbagai hal. Maka akan di kaji berdasarkan:
1.
Apa perkembangan kemandirian
peserta didik?
2.
Bagaimana implikasi perkembangna
kemandirian peserta didik?
3.
Apa cara mengoptimalkan
kecerdasan peserta didik?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui perkembangan
kemandirian peserta didik
2.
Untuk mengetahui implikasi
perkembangan kemandirian peserta didik
3.
Untuk mengetahui cara
mengoptimalkan kecerdasan peserta didik
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian
Kemandirian
Istilah “Kemandirian” berasal dari kata dasar “diri”
yang mendapat awalan ‘ke” dan akhiran “an”. Kemudian membentuk satu kata
keadaan atau kata benda. Maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas
dari pembahasaan tentang perkembangan diri itu sendiri, dalam konsep Carls
Rogers disebut dengan istilah self, karena
diri itu merupakan inti dari kemandirian. Konsep yang sering digunakan atau
berdekatan dengan kemandirian adalah autonomy.
Menurut Chaplin (2002), otonomi adalah
kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi kesatuan yang bisa
memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri. Sedangkan Seifert dan Hoffnung (1994) mendefinisikan otonomi atau kemandirian sebagai
“the ability to govern and regulate one’s own thoughts, feeling, and actions
freely and responssibly while overcoming feeling of shamw and doubt”.
Erikson
(dalam monks, dkk, (1989), menyatakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan
diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses
identitas ego, yaitu : merupakan perkembangan kearah individualitas yang mantap
dan berdiri sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian
mengandung pengertian :
a. Kondisi
dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya
sendiri.
b. Mampu
mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
c. Memiliki
kepercayaan dan melaksanakan tugas-tugasnya.
d. Bertanggung
jawab atas apa yang dilakukannya.
- Bentuk-bentuk,
Tingkatan dan karakteristik kemandirian peserta didik
Bentuk-bentuk kemandirian Robert Hovighurts (1972)
membedakan kemandirian menjadi 4 bagian sebagai berikut :
1).
Kemandirian emosi : Kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada
orang lain.
2). Kemandirian
ekonomi : Kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya
kebutuhan ekonomi pada orng lain.
3). Kemandirian
intelektual : Kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
4). Kemandirian
sosial : Kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak
tergantung pada aksi orang lain.
Sementara itu, Steiberg (1993) membedaka karakteristik kemandirian atas tiga
bentuk yaitu :
The first emotional autonomy-that
aspect of independence related to change in the individual’s close
relationship, especially with parent, the second behavioral autonomy-the
capacity to make independent decisions and follow through with them. The third
char acterization invoves an aspect of independence reffered to as value
autonomy-wich is more than simply being able to resist pressures to go along
with the demands of other; it means having a set a principles about right and
wrong, about what is importaint and what is not.
Kutipan diatas menunjukan karakteristikdari
ketiga aspek kemandirian yaitu :
5). Kemandirian
emosional : Yakni aspek kemandirian yang menyatakan perubahan kedekatan
hubungan emosional anatar idividu.
6).
Kemandirian tingkah laku : Ykni suatu kemampuan untuk membuat keputusan
tanpa tergantung pada orang lain dan melakukannya secara bertanggung jawab.
7).
Kemandirian nilai : Yakni kemampuan memakai seperangkat printis tentang
benar dan salah , yang penting dan tidak penting.
C. Tingkatan dan
karakteristik kemandirian
Lovinger ( dalam sunaryo kartadinata, 1988),
mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristik, yaitu:
1). Tingkat pertama,
adalah tingkat imvulsive dan melindungi diri. Ciri-cirinya:
a.
Peduli terhadap control dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya
dengan orang lain.
b.
Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistic
c.
Berpikir tidak logis dan tertegun pada cara berpikir tertentu (stereotype)
d.
Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games
e.
Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkungannya.
2). Tingkat kedua,
adalah tingkat konformistik, cirri-cirinya:
a.
Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan social
b.
Cenderung berpikir stereotype dan klise
c.
Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal
d.
Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian
e.
Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya introspeksi
f.
Perbedaan kelompok didasarkan atas cirri-ciri eksternal
g.
Takut tidak diterima kelompok
h.
Tidak sensitif terhadap keindividualan
i.
Merasa berdosa jika melanggar aturan
3). Tingkat ketiga,
adalah tingkat sadar diri, ciri-cirinya:
a.
Mampu berfikir alternatif
b.
Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi
c.
Peduli untuk mengambil manfaat dari kesmpatan yang ada
d.
Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah
e.
Memikirkan cara hidup
f.
Penyesuaian terhadap situasi dan peranan
4). Tingkat keempat,
adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-cirinya:
a.
Bertindak atas dasar nilai-nilai internal
b.
Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan
c.
Mampu melihat keragaman emosi, motif dan perspektif diri sendiri maupun orang
lain
d.
Sadar akan tanggung jawab
e.
Mampu melakukan kritik dan penilaian diri
f.
Peduli akan hubungan mutualistik
g.
Memiliki tujuan jangka panjang
h.
Cenderung melihat peristiwa dalam konteks social
i.
Berpikir lebih konpleks dan atas dasar pola analisis
5). Tingkat kelima,
adalah tingkat individualitas, ciri-cirinya:
a.
Peningkatan kesadaran individualitas
b.
Kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dan ketergantungan
c.
Menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain
d.
Mengenal eksistensi perbedaan individual
e.
Mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan
f.
Membedakan kehidupan internal dengan kehidupan luar dirinya
g.
Mengenal kompleksitas diri
h.
Peduli akan perkembangan dan masalah-masalah social
6). Tingkat keenam,
adalah tingkat mandiri. Cirri-cirinya:
a.
Memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan
b.
Cenderung bersikap realistic dan objektif terhadap diri sendiri dan orang lain
c.
Peduli terhadap pemahaman abstrak, seperti keadilan social
d.
Mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan
e.
Toleran terhadap ambiguitas
f.
Peduli akan pemenuhan diri (self-fulfilment)
g.
Ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal
h.
Responsif terhadap kamandirian orang
lain
i.
Sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain
j.
Mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan
D. Urgensi dan Implikasi
Perkembangan Kemandirian Peserta Didik Bagi Pendidikan
1. Urgensi perkembangan
kemandirian peserta didik
Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta
didik terlihat dari berbagai fenomena yang sangat membutuhkan perhatian dunia
pendidikan. Sunaryo kartadinata (1988) menyebutkan beberapa gejala yang
berhubungan dengan permasalahan kemandirian yang perlu mendapat perhatian dunia
pendidikan, yaitu:
a. Ketergantungan
disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena niat sendiri yang ikhlas
b. Sikap
tidak peduli terhadap lingkungan hidup
c. Sikap
hidup konformistis tanpa pemahaman dan konformistik dengan mengorbankan prinsip
2. Implikasi
perkembangan kemandirian peserta didik
Kemandirian adalah
kecakapan yang berkembang sepanjang rentang kehidupan individu yang sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman dan pendidikan. Upaya-upaya yang
dilakukan disekolah untuk pengembangan kemandirian peserta didik, yaitu:
a. Mengembangkan
proses mengajar yang demokratis, yang memungkinkan anak merasa dihargai
b. Mendorong
anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai
kegiatan sekolah
c. Member
kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan mendorong rasa ingin tahu
mereka
d. Penerimaan
positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak
yang satu dengan yang lain
e. Menjalin
hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak
E. Mengoptimalkan
Kecerdasan Peserta Didik
Tidak
ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah
satu atau beberapa jenis kecerdasan. Cara yang baik untuk mengenali kecerdasan
yang paling berkembang pada diri anak adalah dengan mengamati cara mereka
memanfaatkan waktu luang. Mereka bebas memilih kegiatan yang disukainya.
Kecerdasan pada usia 4 tahun mencapai 50 %, usia 8 tahun 80 % dan pada 18 tahun
mencapai 100 %, jadi pendidikan diusai dini sangat penting untuk membantu
mengembangkan kecerdasan anak. Gardner menggunakan kata kecerdasan sebagai
ganti bakat. Menurutnya, kecerdasan dapat diidentifikasi menjadi 9 kecerdasan
yaitu: kecerdasan logis matematis, kecerdasan linguistik-verbal, kecerdasan
spasial-visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinetis-ragawi, kecerdasan
naturalis, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
eksistensial. Sembilan kecerdasan ini sering dikerucutkan menjadi IQ
(Intelegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient).
a. IQ
(Intelegence Quotient)
IQ
hanyalah mengukur sebagian kecil dari kecakapan. IQ juga bukan ukuran yang
menentukan kesuksesan. Anak yang cerdas adalah anak yang bereaksi secara logis
dan berguna terhadap apa yang dialami di lingkungannya. IQ merupakan angka yang
dipakai untuk menggambarkan kapasitas berpikir seseorang dibandingkan dengan
rata-rata orang lain. Msalnya: Beethoven composer terkenal yang memiliki
kemampuan luar biasa di bidang musical, namun memiliki keterbatasan pada
kemampuan matematika dan bahasa, ini berarti jika IQ yang rendah memang diikuti
oleh tingkat kreativitas yang rendah tapi IQ yang tinggi belum tentu diikuti
kreativitas yang tinggi. Semua orang memiliki kecerdasan, tetapi tidak ada
orang yang sama walau kembar sekalipun dan ini terjadi berkat pengaruh genetik
dan lingkungan yang berbeda pada setiap orang.
b. EQ
(Emotional Quotient)
Kecerdasan
emotional dapat dilatih pada anak sejak dini. Pencetus EQ adalah Daniel Goleman
dalam bukunya Emotional Intelegence. Salah satu pelajaran emosi yang paling
mendasar bagi anak adalah bagaimana membedakan perasaannya. Kecerdasan IQ harus
diiringi dengan kecerdasan EQ. Dalam berbagai penelitian dalam bidang psikologi
bahwa anak yang memiliki EQ tinggi adalah anak-anak yang bahagia, percaya diri,
popular, dan lebih sukses. Adapun cara meningkatkan kecerdasan EQ anak adalah:
§ Mengajarkan
cara berpikir realitas dan optimis.
§ Membuat
kartu emosi.
§ Orang
tua hendaknya mendengarkan curahan hati anak.
§ Orang
tua hendaknya membacakan dongeng atau buku bersama.
§ Bermain
peran atau drama.
§ Melibatkan
anak dengan kegiatan olahraga atau organisasi.
§ Banyak
memberikan pujian dan motivasi kepada anak.
c. SQ
(Spritual Quotient)
SQ
(Spritual Quotient) adalah kemampuan untuk memimpin diri, mengetahui tujuan
hidup dan mengatasi frustasi dan depresi, SQ membuat seseorang bersikap tidak
egois dan meimiliki empati kepada orang lain. Belum ada penelitian yang
terperinci mengenai SQ ini, akan tetapi SQ berhubungan dengan agama anak. SQ
anak akan berkembang jika orang tua mampu dan bisa menerapkan fungsi keagamaan
yang baik pada diri anak, kemudian di lanjutkan dengan lingkungan baik di
rumah, sekolah, maupun lingkungan masjid. Hasil penelitian dari Prof. Dr.
Daniel Colleman, “bapak manajemen” dari AS menunjukkan bahwa keberhasilan
seseorang hanya 20% dipengaruhi oleh IQ, selebihnya 80 % dipengaruhi oleh
Emotional Quotient (EQ) dan Spritual Quotient (SQ). Di Indonesia, ada dua orang
yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional
dan kecerdasan spritual yaitu K. H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym,
da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya
dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan
Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya. Dari pemikiran
Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki
hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian
menekankan tentang:
1. Zero
Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God
Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas
dari belenggu.
2. Mental
Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan
kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk
pada Rukun Iman.
3. Mission
Statrment, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk
menghasilkan ketangguhan pribadi (perssonal strength) dengan merujuk pada Rukun
Iman.
4. Strategic
Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain
atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial
individu.
5. Total
Action; yaitu suatu usah untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar,
2001).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Kemandirian peserta didik adalah
bakat kecakapan yang dimiliki peserta didik, ini sangat berkaitan dengan
pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya-upaya
pengembangan kemandirian peserta didik, diantaranya :
a.
Mengembangkan proses belajar
mengajar yang demokratis.
b.
Mendorong anak untuk
berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan
sekolah.
c.
Memberi kebebasan kepada anak
untuk mengeksplorasi lingkungan , mendorong rasa ingin tahu mereka.
d.
Peneriman positif tanpa syarat
kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang
lain.
e. Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.
Dengan semua itu, maka akan terbentuk pribadi peserta didik
yang mandiri. Yang juga implikasi untuk keadaan dunia pendidikan yang akan
semakin berkembang.
·
Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan
tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi hingga
akhir hayat. Ketika individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai
dengan dua belas tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta
didik yang akan berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem
pendidikan.
Cara
pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan anak,
yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara
fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2)
tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak
aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar
sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai
proses perkembangannya.
·
Cara yang baik untuk
mengenali kecerdasan yang paling berkembang pada diri anak adalah dengan
mengamati cara mereka memanfaatkan waktu luang. Mereka bebas memilih kegiatan
yang disukainya. Kecerdasan pada usia 4 tahun mencapai 50 %, usia 8 tahun 80 %
dan pada 18 tahun mencapai 100 %, jadi pendidikan diusai dini sangat penting
untuk membantu mengembangkan kecerdasan anak. Gardner menggunakan kata
kecerdasan sebagai ganti bakat. Menurutnya, kecerdasan dapat diidentifikasi
menjadi 9 kecerdasan yaitu: kecerdasan logis matematis, kecerdasan
linguistik-verbal, kecerdasan spasial-visual, kecerdasan musikal, kecerdasan
kinetis-ragawi, kecerdasan naturalis, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan
interpersonal, kecerdasan eksistensial. Sembilan kecerdasan ini sering
dikerucutkan menjadi IQ (Intelegence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ
(Spiritual Quotient).
B.
Saran
Dalam penulisan
makalah ini masih banyak mengalami kesalahan, diharapkan bagi pembaca
memberikan komentar agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Hosnan M, 2015. Children’s Psychology Development Psikologi Perkembangan
Peserta Didik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar